Kisah Vardy dan Leicester adalah sebuah legenda. Cerita ini pernah menjadi dongeng sangat indah. Seorang pekerja pabrik menjadi pahlawan juara. Fakta ini dicatat oleh sejarah Wikipedia.Â
Namun semua cerita indah punya akhir. Kini narasi mereka terasa sangat berbeda. Vardy pergi pada akhir musim 2024-2025. Kepergiannya menandai sebuah babak yang baru. The Guardian mengonfirmasi keputusan itu (2025).Â
Babak baru itu terasa lebih kelam. Leicester terdegradasi untuk yang kedua kalinya. Mereka turun kasta dalam tiga tahun. Publik tidak lagi bertanya soal keajaiban. Pertanyaannya mengapa dongeng itu berakhir tragis.
Sangat mudah menunjuk satu penyebab saja. Banyak orang bisa menyalahkan performa Vardy. Usia Vardy memang sudah mulai menua.Â
Mereka juga bisa menunjuk sang manajer. Manajer itu adalah Ruud van Nistelrooy. Dia dianggap biang keladi utama kegagalan. Dia yang membawa timnya sampai turun kasta. Lalu dia berpisah dengan klubnya (Detik.com, 2025).Â
Namun menyalahkan satu orang itu sederhana. Cara pandang itu jelas terlalu sederhana. Masalah klub modern jarang sesederhana itu.Â
Kegagalan Leicester punya akar lebih dalam. Masalahnya kemungkinan besar bersifat sangat struktural. Masalah itu tersembunyi di balik layar. Jauh dari sorotan kamera di lapangan.
Klub seperti Leicester hidup penuh tekanan. Mereka berhasil menjadi juara pada 2016. Itu prestasi luar biasa dan bersejarah.Â
Namun gelar itu menjadi beban berat. Ekspektasi publik selalu menjadi sangat tinggi. Padahal kekuatan finansial mereka sangat terbatas. Mereka tidak bisa belanja pemain sesukanya. Tidak seperti semua klub-klub raksasa lainnya.Â
Sangat mungkin ada masalah aturan keuangan. Aturan itu mungkin sangat mengikat mereka. Mungkin juga ada kesalahan manajemen klub.Â
Penjualan pemain kunci pasti ikut berdampak. Skuad mereka menjadi lebih lemah waktunya. Tugas manajer menjadi jauh lebih sulit. Kegagalan di lapangan adalah sebuah cerminan. Cerminan masalah dari ruang rapat petinggi.