Vespa sering digambarkan sebagai simbol cinta sejati. Ia sebuah kendaraan ikonik dari puing perang. Narasi ini memang sangat kuat dan populer. Ceritanya terdengar puitis juga penuh harapan. Banyak orang di dunia meyakini kisah ini.Â
Tapi apakah cerita aslinya memang seromantis itu? Mungkin ada sudut pandang lain yang realistis. Sudut pandang ini melihat Vespa secara berbeda. Bukan hanya sebagai produk dari sebuah emosi. Tapi hasil dari kebutuhan dan kecerdasan bisnis.
Italia pasca-perang adalah negara porak-poranda. Ekonominya lumpuh dan jalanannya hancur parah. Kondisi itu membuat mobil sulit diandalkan (CNBC Indonesia, 2022).Â
Di tengah situasi sulit ini masyarakat butuh transportasi. Mereka butuh sebuah alat transportasi pribadi baru. Sesuatu yang murah, efisien, dan bisa diandalkan. Untuk melewati semua jalanan kota yang rusak.Â
Di sinilah keluarga Piaggio melihat peluang bisnis. Peluang bisnis itu tampak sangat cemerlang. Pabrik mereka di Pontedera hancur total. Akibat dari serangan bom pasukan Sekutu.Â
Mereka harus segera beralih fokus bisnis. Mereka meninggalkan industri dirgantara yang lama (Vespasaya Wordpress, 2015).Â
Enrico Piaggio, sang penerus, punya visi jelas. Ia ingin membuat kendaraan roda dua terjangkau. Agar bisa dipakai oleh semua kalangan luas. Sebuah solusi nyata untuk masalah mobilitas massal.
Tugas perancangan jatuh ke tangan Corradino D'Ascanio. Ia adalah seorang insinyur penerbangan sangat berbakat. Uniknya, D'Ascanio tidak menyukai sepeda motor (Wikipedia).Â
Ia menganggap motor itu kotor juga besar. Serta sangat sulit untuk diperbaiki sendiri.Â
Ketidaksukaannya ini justru menjadi sumber inovasi. Ia merancang bodi utuh pelindung pengendara. Agar aman dari kotoran dan cipratan lumpur. Ia memindahkan tuas persneling ke bagian setang.Â
Inovasi terbesarnya adalah suspensi depan satu sisi. Desain itu terinspirasi dari roda pendaratan pesawat. Proses penggantian ban menjadi sangat mudah (Hagerty, 2021).Â