Namun, respons Tiongkok tidak terduga. Mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka justru berinovasi secara domestik. Perusahaan lokal mulai mengembangkan chip sendiri. Seperti chip Ascend 910 buatan Huawei. (Technology Magazine; Al Jazeera, 2025).Â
CEO Huawei Ren Zhengfei mengakuinya. Beliau mengakui chip mereka masih tertinggal. Tertinggal satu generasi dari Amerika Serikat. Ini berarti mereka harus mengejar ketertinggalan. (Reuters, 2025).
Sanksi AS memang menciptakan sebuah hambatan. Tetapi sanksi mendorong Tiongkok lebih mandiri. (MERICS).Â
Sanksi tersebut tidak bisa menghentikan Tiongkok. Sanksi itu hanya dapat memperlambat mereka.Â
Mereka harus menghabiskan banyak sekali waktu. Mereka juga harus menghabiskan banyak uang. Demi mengembangkan teknologi yang sudah ada. Teknologi itu sudah tersedia pasar global. (The Economist, 2025).Â
Di sisi lain, sanksi meningkatkan ketegangan. Ketegangan geopolitik dapat menghambat kolaborasi global. Kolaborasi ini penting untuk kemajuan AI. (Academia.edu, 2020).
Di balik tantangan, Tiongkok punya keunggulan. Populasi Tiongkok memang sangat besar. Ini memberikan akses data dalam jumlah masif. Data krusial untuk melatih model AI. (Sapien.io; MacroPolo).Â
Aturan privasi data Tiongkok lebih longgar. Lebih longgar jika dibandingkan dengan Barat. Ini memberi perusahaan akses data mudah. Peneliti juga mendapat akses lebih mudah. (EY; Law.asia).Â
Namun, jumlah data saja tidak cukup. Kualitas dan keragaman data juga penting. Keduanya sama-sama dianggap sangat penting. (National Security at University of Virginia).
Tiongkok juga sangat unggul dalam talenta. Negara ini menghasilkan banyak peneliti AI. Hampir 50% peneliti AI terbaik dunia. (Nature, 2025).Â
Banyak dari mereka menempuh pendidikan tinggi. Mereka belajar di institusi terkemuka AS. Juga di berbagai institusi top Eropa. Kemudian mereka kembali lagi ke Tiongkok. Kombinasi ini mempercepat perkembangan AI domestik. (The New York Times, 2025).Â