Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Panas Bumi Lebih Baik dari Fosil, Namun Bukan Tanpa Dampak

6 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 2 Agustus 2025   15:56 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) Ulumbu di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Dok. PLN via Kompas.com)

Peralihan energi terbarukan menjadi agenda global. Agenda ini menjadi sangat mendesak. Bahan bakar fosil terbukti merusak lingkungan. Penggunaannya selama ini sangat dominan. 

Hal ini memicu desakan kuat mencari alternatif. Salah satu alternatifnya adalah panas bumi. Energi ini sering dianggap sebagai solusi ideal. Pengeboran panas bumi diklaim ramah lingkungan. 

Dampaknya disebut jauh lebih kecil. Jika dibandingkan dengan pertambangan fosil. Namun, benarkah panas bumi sepenuhnya tanpa cela?

Energi panas bumi memang punya banyak keunggulan. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Mempunyai jejak karbon yang sangat rendah. Menurut Kementerian ESDM (2021). 

Emisi karbon PLTP hanya sekitar 1,5%. Dari total emisi PLTU batu bara. Sementara Energy Information Administration (EIA) AS. Menyebut angkanya di antara 6--10% (Energy.gov). 

Angka ini jelas jauh lebih baik. PLTP juga lebih efisien memakai lahan. Jika dibandingkan area tambang batu bara. Meskipun demikian, ada dampak lain. 

Dampak ini perlu sangat diperhatikan. Hal ini sering tidak dibahas mendalam. Pengeboran panas bumi melepaskan gas lain. Gas itu selain karbon dioksida. 

Seperti hidrogen sulfida ($H_2S$) dan metana ($CH_4$). Gas hidrogen sulfida ini sangat berbahaya. Baunya seperti telur busuk. Gas ini juga bisa menjadi racun. 

Beberapa kasus kebocoran gas pernah terjadi. Peristiwa itu terjadi di Indonesia. Dampaknya bisa menjadi sangat fatal (Mongabay, 2025; Tempo.co). 

Ada juga risiko seismik atau gempa. Pengeboran dan injeksi fluida ke bumi. Berpotensi memicu gempa-gempa kecil. Sebuah studi di Lapangan Panas Bumi Kamojang. Menunjukkan adanya potensi gempa tersebut (Jurnal Geosaintek ITS, 2017). 

Analisis dari BMKG dan lembaga lain. Juga memperkuat temuan penting ini. Mereka menyatakan intensitasnya memang kecil. Namun aktivitas ini tetap menjadi risiko. Terutama di area rawan gempa (Antara News, 2021). 

Selain itu, ada potensi pencemaran air. Serta potensi pencemaran tanah juga ada. Cairan panas berasal dari perut bumi. Sering mengandung mineral dan bahan kimia. 

Bahan kimia ini sangatlah berbahaya. Jika bocor dapat merusak lingkungan (Neliti, 2016). Kebocoran semacam ini berisiko besar. Dapat mencemari air tanah. Juga bisa mengganggu ekosistem lokal (CELIOS, 2022).

Klaim dampak panas bumi bisa diminimalkan. Klaim tersebut memang benar adanya. Karena dengan teknologi yang sangat tepat. Berbagai risiko dapat dikendalikan. 

Mitigasi adalah kunci utamanya. Salah satunya melalui sistem reinjeksi. Yaitu proses mengembalikan fluida sisa. Fluida dikembalikan lagi ke dalam bumi. Untuk membantu menjaga tekanan reservoir (Green Teknokrat). 

Selain itu, teknologi sistem closed-loop. Sistem ini juga menjadi sangat penting. Karena sistem membuat aliran fluida. Tidak kontak langsung dengan udara. 

Sehingga dapat mengurangi pelepasan emisi. Terutama emisi gas berbahaya (Union of Concerned Scientists). 

Lembaga pemerintah seperti Kementerian ESDM. Dan badan ilmiah lain mendorong mitigasi. Mereka menekankan pentingnya pemantauan lingkungan. 

Pemantauan ini harus berkelanjutan. Termasuk pemantauan emisi gas. Dan juga aktivitas seismik (Kementerian ESDM, 2021; PT SMI). 

Data dari studi kasus di Ulubelu. Dan hasil penelitian lainnya menunjukkan. 

Bagaimana pengelolaan baik bisa mengurangi dampak. Mengurangi dampak negatif secara signifikan (Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB, 2018; Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan UNJA, 2023).

Perbandingan panas bumi dan pertambangan fosil. Perbandingan ini sering sekali digunakan. Pertambangan fosil memang jauh lebih merusak. Karena melibatkan peledakan dan galian raksasa. 

Panas bumi tidak melakukan hal demikian. Namun, keduanya tetap kegiatan ekstraksi. Sama-sama memiliki dampak bagi lingkungan. 

Maka, klaim panas bumi tidak berdampak. Tidak menciptakan dampak buruk yang signifikan. Klaim itu perlu ditinjau kembali. 

Karena bisa terlalu menyederhanakan masalah. Lebih tepat jika kita mengatakan. Bahwa dampak panas bumi dapat diminimalkan. Yaitu dengan teknologi yang sudah ada. 

Seperti pengendalian emisi dan pemantauan seismik (Kementerian ESDM, 2021). Panas bumi adalah alat sangat penting. Terutama dalam bauran energi terbarukan. Apalagi di Indonesia yang potensinya besar. 

Namun, kita harus melihatnya secara objektif. Panas bumi bukanlah solusi tanpa cela. Energi ini punya tantangan dan risiko. Memahami hal ini akan membantu kita. 

Agar kita mengambil keputusan lebih cerdas. Sehingga kita bisa memaksimalkan manfaatnya. Sambil terus meminimalkan semua risikonya.

***

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun