Peralihan energi terbarukan menjadi agenda global. Agenda ini menjadi sangat mendesak. Bahan bakar fosil terbukti merusak lingkungan. Penggunaannya selama ini sangat dominan.Â
Hal ini memicu desakan kuat mencari alternatif. Salah satu alternatifnya adalah panas bumi. Energi ini sering dianggap sebagai solusi ideal. Pengeboran panas bumi diklaim ramah lingkungan.Â
Dampaknya disebut jauh lebih kecil. Jika dibandingkan dengan pertambangan fosil. Namun, benarkah panas bumi sepenuhnya tanpa cela?
Energi panas bumi memang punya banyak keunggulan. Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Mempunyai jejak karbon yang sangat rendah. Menurut Kementerian ESDM (2021).Â
Emisi karbon PLTP hanya sekitar 1,5%. Dari total emisi PLTU batu bara. Sementara Energy Information Administration (EIA) AS. Menyebut angkanya di antara 6--10% (Energy.gov).Â
Angka ini jelas jauh lebih baik. PLTP juga lebih efisien memakai lahan. Jika dibandingkan area tambang batu bara. Meskipun demikian, ada dampak lain.Â
Dampak ini perlu sangat diperhatikan. Hal ini sering tidak dibahas mendalam. Pengeboran panas bumi melepaskan gas lain. Gas itu selain karbon dioksida.Â
Seperti hidrogen sulfida ($H_2S$) dan metana ($CH_4$). Gas hidrogen sulfida ini sangat berbahaya. Baunya seperti telur busuk. Gas ini juga bisa menjadi racun.Â
Beberapa kasus kebocoran gas pernah terjadi. Peristiwa itu terjadi di Indonesia. Dampaknya bisa menjadi sangat fatal (Mongabay, 2025; Tempo.co).Â
Ada juga risiko seismik atau gempa. Pengeboran dan injeksi fluida ke bumi. Berpotensi memicu gempa-gempa kecil. Sebuah studi di Lapangan Panas Bumi Kamojang. Menunjukkan adanya potensi gempa tersebut (Jurnal Geosaintek ITS, 2017).Â
Analisis dari BMKG dan lembaga lain. Juga memperkuat temuan penting ini. Mereka menyatakan intensitasnya memang kecil. Namun aktivitas ini tetap menjadi risiko. Terutama di area rawan gempa (Antara News, 2021).Â