Diskriminasi usia adalah masalah yang besar. Masalah ini terjadi dalam rekrutmen kerja. Fenomena ini terjadi di mana-mana.Â
Ironisnya, ageisme justru terasa semakin kuat. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi. Seolah setiap inovasi menciptakan tantangan baru. Hal ini menjadi sebuah keprihatinan serius.
Banyak orang berharap suatu hal. Teknologi diharapkan dapat hilangkan bias. Terutama bias dalam proses rekrutmen.Â
Namun kenyataannya seringkali sangat berbeda. Teknologi belajar dari data historis. Terutama teknologi kecerdasan buatan (AI).Â
Data historis tersebut memang sudah ada. Jika perusahaan dulu rekrut pekerja muda. Maka AI bisa meniru pola tersebut. Bahkan AI mampu memperkuat pola itu.Â
Contoh nyata terjadi pada perusahaan Amazon. Mereka terpaksa hentikan sistem rekrutmennya. Sistem itu berbasis AI pada 2018. Sistem tersebut terbukti mendiskriminasi pelamar perempuan (BBC, 2018).Â
Sistem itu belajar dari data historis. Data itu didominasi oleh pelamar laki-laki. Oleh karena itu AI membuat kesimpulan. AI menyimpulkan kandidat pria lebih unggul (Reuters, 2018).Â
Ini menunjukkan fakta yang penting. Bahwa AI bukanlah solusi yang ajaib. AI hanyalah cerminan dari bias manusia. Bias manusia yang sudah ada sebelumnya.
Sebuah gagasan perlu untuk dipertanyakan. Gagasan itu tentang "puncak kesuksesan". Yaitu pada rentang usia 25 atau 29. Hal ini karena kesuksesan itu sendiri. Kesuksesan tidak memiliki batas waktu tertentu.Â
Banyak individu hebat mencapai puncak karirnya. Mereka justru capai itu di usia matang. Kisah orang yang merasa "terlalu tua". Perasaan itu muncul di usia muda.Â
Hal ini menunjukkan adanya masalah mendasar. Terutama dalam cara kita menilai potensi. Pengalaman mereka seringkali diabaikan begitu saja. Keahlian mereka juga sering tidak dianggap. Semua ini hanya karena angka usia.