Becak tetap bertahan. Meskipun kritik dan tantangan membayangi. Bukan karena daya adaptasi luar biasa. Mungkin lebih karena faktor lain. Faktor tersebut adalah kebutuhan ekonomi.Â
Becak menjadi penyelamat bagi banyak orang. Terutama bagi yang sulit dapat pekerjaan. Pekerjaan formal sangat sulit didapat. Ia menawarkan sumber penghidupan. Meski dengan risiko kesehatan tinggi.
Becak bukan hanya alat transportasi. Ia adalah simbol kerja keras. Simbol ketekunan dan kasih sayang. Kasih sayang seorang ayah. Ia berjuang menafkahi keluarganya.Â
Ini adalah perspektif personal. Perspektif ini sangat kontras. Kontras dengan pandangan umum. Pandangan umum sering menganggap becak tidak manusiawi.
Becak di Bandung hingga kini eksis. Namun, keberadaannya sangat terbatas. Sejak 1970-an, banyak kota besar melarangnya. Termasuk Bandung (Kompas, 2018; Detik, 2022).Â
Pelarangan atau pembatasan ketat diberlakukan. Kebijakan ini bertujuan menertibkan lalu lintas. Juga untuk modernisasi transportasi kota.Â
Akibatnya, jumlah becak menurun drastis (Detik, 2022). Fungsi utamanya kini telah bergeser.Â
Sekarang, becak sering jadi daya tarik. Daya tarik untuk para wisatawan. Atau jadi angkutan jarak pendek. Biasanya di area permukiman.Â
Ini bukan lagi dominasi jalanan. Ini menandakan evolusi perannya. Becak tidak hanya "bertahan melawan zaman." Ia juga beradaptasi dengan keterbatasan. Dan terus mengisi celah transportasi.Â
Sekaligus menjadi sebuah pengingat. Pengingat sejarah panjang perjuangan hidup. Perjuangan hidup di wilayah perkotaan. Becak tetap menjadi bagian tak terpisahkan.Â
Bagian dari narasi urban Bandung. Sebuah warisan yang terus berdenyut. Berdenyut di tengah derasnya perubahan.