Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Pola Asuh Melindungi Berlebihan, Picu Kerapuhan Mental Anak

13 Juli 2025   23:00 Diperbarui: 29 Juni 2025   19:32 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua yang mengontrol. (FREEPIK/ARTURSAFRONOVVVV via Kompas.com)

"Kasihan anakku," begitu pikir kita. Lalu kita lindungi dia dari semua masalah. Tapi, pernahkah terpikir? Kalau terus dilindungi, kapan dia belajar jadi kuat? Jangan-jangan kita sedang membesarkan 'stroberi'.

Kenapa ini harus kita pikirkan? Karena ini soal kesehatan mental anak. Mental yang rapuh membuatnya gampang cemas. Sulit membangun hubungan yang sehat. Gagal sedikit, bisa langsung merasa dunianya runtuh. 

Dia tidak akan benar-benar bahagia. Padahal, tujuan utama kita kan ingin anak bahagia? Kebahagiaan sejati datang dari mental yang kuat, bukan dari kemudahan sesaat.

Pekerjaan rumah sebenarnya bukan pada anak. Tapi pada kita, orang tuanya. Kunci utamanya adalah 'regulasi diri' kita. Kita cemas melihat anak kecewa. Kita tidak tahan melihat mereka gagal. Perasaan inilah yang harus kita kelola. 

Kenapa? Karena anak butuh gagal untuk belajar. Sebuah survei gabungan Kemenkes dan UGM menunjukkan fakta yang serius. Bahwa satu dari tiga remaja Indonesia punya masalah kesehatan mental (I-NAMHS, 2022). 

Yang lebih mengkhawatirkan, dari jumlah sebesar itu. Hanya 2,6% yang akhirnya bisa mengakses layanan bantuan profesional. Ini pertanda bahwa banyak anak berjuang sendirian, dan peran keluarga menjadi sangat vital. 

Rasa 'kasihan' kita yang berlebihan, tanpa sadar, justru melucuti senjata mereka untuk berjuang. Kita harus kuat menahan diri. Kuat untuk tidak selalu turun tangan. 

Biarkan mereka merasakan sedikit pahitnya usaha. Karena dari situlah kekuatan mental mereka lahir dan tumbuh. Ini bukan soal tega atau tidak tega. Ini soal membekali mereka untuk masa depan.

Kita bisa memandang peran kita dengan cara baru. Bukan lagi sebagai tameng, tapi sebagai pelatih. Pelatih yang baik tahu kapan harus diam di pinggir lapangan dan membiarkan pemainnya berjuang. Ini rinciannya.

- Jadilah pelatih, bukan pemain utama. 

Bayangkan hidup ini pertandingan. Anak kita adalah pemainnya. Kita pelatihnya. Apa tugas pelatih? Memberi strategi sebelum tanding. Memberi semangat dari pinggir lapangan. Mengevaluasi setelah selesai. 

Pelatih tidak ikut berlari merebut bola. Jika pelatih ikut main, pemainnya tidak akan pernah jago. Begitu juga kita. Beri anak 'strategi', misalnya dengan diskusi soal nilai-nilai kejujuran. Beri semangat saat dia mencoba. 

Lalu evaluasi bersama saat dia berhasil atau gagal. Jangan rebut 'bola' dari kakinya. Biarkan dia yang bermain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun