Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Al-Azhar dalam Kelindan Kekuasaan dan Pengetahuan

20 Juni 2025   16:28 Diperbarui: 20 Juni 2025   16:28 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.(Getty Images/Adrian Beesley via Kompas.com)

Bisakah sebuah universitas dengan sejarah panjang dan sebesar Al-Azhar, tetap netral ad politica? Sepertinya tidak. Sejarah menunjukkan, Al-Azhar sering jadi pion dalam permainan kekuasaan.

Kenapa peduli sejarah Al-Azhar?

Pertama, Institusi ini didirikan Dinasti Fatimiah. Tahun 970 Masehi. Sudah berdiri berabad-abad (Wikipedia Al-Azhar University, 2025).

Kedua, sejarahnya menunjukkan. Bahwa sebuah lembaga keagamaan dan pendidikan raksasa bisa jadi target. Atau alat politik rezim yang berkuasa.

Jika tidak paham ini, kita mungkin gagal paham. Bagaimana kekuasaan membentuk narasi keagamaan dan pendidikan. Hal itu akhirnya memengaruhi stabilitas sosial politik.

Sejarah Universitas Al-Azhar adalah gambaran pergulatan keilmuan dan kekuasaan. Al-Azhar berulang kali jadi objek kontrol politik. Ini terjadi sejak pembentukannya hingga periode modern.

Dalam beberapa dekade terakhir. Terutama di bawah kepemimpinan Ahmed al-Tayeb. Ada upaya signifikan merebut kembali independensi dan membumikan Islam moderat. Ini menunjukkan bahwa meski sulit. Kemandirian akademis bisa diperjuangkan.

Jejak Perjalanan Al-Azhar

Saya memetakan beberapa titik penting dalam sejarah interaksi Al-Azhar dengan kekuasaan, dan bagaimana ia merespons.

Pendirian dengan Misi Politik

Pendirian Al-Azhar oleh Dinasti Fatimiah pada 970 Masehi. Adalah strategi politik yang cerdik sekaligus ambisius. Khalifah Al-‘Aziz Billah (955-996) secara spesifik memerintahkan wazirnya, Ya’qub bin Killis. Untuk merintis lembaga ini.

Tujuan utamanya bukan semata pendidikan. Melainkan  membangun tandingan ideologis terhadap Bait Al-Hikmah. Pusat keilmuan Dinasti Abbasiyah di Bagdad.

Ini adalah upaya Dinasti Fatimiah, rezim Syiah Ismailiyyah. Untuk menegaskan dominasi dan pengaruh mereka. Mereka bahkan merekrut 35 cendekiawan. 

Mengalokasikan anggaran besar, 95 dinar untuk kertas setiap bulan. Serta menyediakan 200 ribu eksemplar buku di perpustakaan (Tirto, 2024). Sebuah investasi strategis dalam penyebaran pengaruh. Dan dominasi intelektual-politik.

Peran di Bawah Salahuddin al-Ayyubi

Titik balik dramatis bagi Al-Azhar terjadi ketika Dinasti Fatimiah tumbang pada 1171 Masehi. Digantikan oleh Salahuddin al-Ayyubi.

Sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah yang berhaluan Sunni. Salahuddin memiliki prioritas utama untuk menetralkan pengaruh Syiah Ismailiyah. Yang bercokol melalui Al-Azhar (Wikipedia Al-Azhar University, 2025).

Ia pun mengambil tindakan drastis. Menghentikan seluruh fungsi Al-Azhar. Baik sebagai masjid maupun pusat pendidikan. Perpustakaan Fatimiah dihancurkan. 

Dengan jumlah buku diperkirakan 120.000–2.000.000 eksemplar (r/AskHistorians, 2025). Entah dibakar atau dijual. Sebuah contoh tindakan pembersihan ideologis. 

Menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat secara efektif. Memutus mata rantai pendidikan dan keagamaan. Yang dianggap tidak sejalan dengan rezim. Bahkan dengan mengorbankan khazanah ilmu.

Manipulasi di Era Nasser

Setelah kudeta Raja Farouk pada 1952. Gamal Abdel Nasser secara sistematis berupaya menekan. Dan memperalat Al-Azhar demi kepentingan politiknya. Terutama dalam mengimbangi rivalitas Ikhwanul Muslimin.

Nasser mendesak tokoh agama dan ilmuwan Al-Azhar. Untuk menyuarakan kompatibilitas gagasan sosialismenya dengan Islam. Ini adalah bentuk kooptasi ideologis yang jelas.

Selain itu, Undang-Undang Reformasi Pertanahan 1952 (Fulton, 2020). Menempatkan properti wakaf Al-Azhar di bawah kendali negara. 

Melemahkan independensi finansialnya. Meski dana operasional Al-Azhar naik signifikan. Dari 1.537.000 menjadi 7.000.000 pound Mesir.

Kenaikan ini datang dengan harga. Presiden memiliki kewenangan mutlak mengangkat atau memberhentikan Grand Syekh Al-Azhar. Dan 45 dosen kritis diberhentikan. Ini adalah manipulasi sistematis melalui insentif dan tekanan.

Kembalinya Independensi Melalui Al-Tayeb

Di tengah gejolak pasca-Arab Spring (2010-2011), Ahmed al-Tayeb muncul. Dia tokoh kunci memulihkan reputasi dan independensi Al-Azhar. 

Al-Tayeb berusaha membendung pemikiran kelompok islamis (Fulton, 2020). Khususnya Ikhwanul Muslimin dan Salafi. Itu berkorelasi dengan stabilitas nasional Mesir.

Al-Tayeb tak hanya berfokus pada ranah domestik. Pun menjalin kerja sama dengan kampus umum. Serta lembaga keislaman di seluruh dunia. Al-Azhar bahkan membuka program pascasarjana studi Islam.  

Sebuah diversifikasi dan modernisasi signifikan. Yang secara tidak langsung memperkuat kemandirian institusi. Dan relevansinya di kancah internasional sebagai pilar Islam moderat.

Penutup

Dari kisah Al-Azhar, saya belajar satu hal penting. Ternyata, ilmu dan kekuasaan itu macam teman tapi musuh. Selalu tarik-menarik dan bikin repot. Al-Azhar berkali-kali jadi korban. Diobok-obok sana-sini. Toh bisa bangkit lagi jadi pilar moderasi.

Kuncinya? resistensi dan adaptasi. Mirip kita di Indonesia. Banyak institusi yang digoda atau ditekan kekuasaan. Dari kampus sampai ormas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun