TNI melakukan penggerebekan narkoba di Bima, memicu perdebatan tentang kewenangan dan pemisahan kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan adalah konsep penting dalam sistem pemerintahan yang sehat. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Montesquieu.Â
Dalam karya terkenalnya The Spirit of the Laws (1748), Montesquieu menegaskan bahwa negara harus membagi kekuasaan antara tiga lembaga. Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif.Â
Setiap lembaga harus memiliki fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hal ini mencegah satu lembaga mengendalikan atau mengganggu yang lain.
Prinsip ini relevan dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Bayangkan jika lembaga negara saling tumpang tindih kewenangannya.Â
Tentu akan menimbulkan kerancuan yang bisa merusak sistem hukum. Inilah yang diperdebatkan sekarang. Terutama dalam kasus penggerebekan narkoba oleh TNI di Bima, Nusa Tenggara Barat, pada Mei 2025 (Fahum Umsu, 2025).
TNI, Polri, dan Kewenangannya dalam Penegakan Hukum Narkoba
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tugas penegakan hukum terkait narkotika diberikan kepada Polri dan BNN. Sehingga bukannya militer, kewenangan Polri dan BNN lebih tepat untuk narkoba.Â
Namun pada 1 Mei 2025, TNI melakukan penggerebekan terhadap tiga terduga pengedar narkoba di Bima. Tindakan ini memicu kontroversi karena dianggap melanggar kewenangan yang diatur dalam hukum negara.
Dalam artikel Hukum Online (2025), disebutkan bahwa meskipun TNI mengklaim bertindak berdasarkan laporan masyarakat, tindakan tersebut di luar kerangka hukum.Â
Hal ini bertentangan dengan KUHAP dan UU TNI, yang membatasi kewenangan TNI dalam penegakan hukum terhadap warga sipil.Â