Ketakutan ini nyata. Laporan LSP MSDM (2025) menunjukkan bahwa 42% karyawan khawatir pekerjaan mereka digantikan mesin.
Namun, pemikiran ini salah. AI, jika diterapkan dengan benar, bisa membantu manusia bekerja lebih cepat dan efisien. Masalahnya, implementasi terburu-buru tanpa pelatihan yang cukup hanya akan memperburuk ketidakpercayaan dan ketakutan.Â
Teknologi baru seharusnya mendukung manusia, bukan menggantikannya.
Etika dan Transparansi
AI tak bisa menggantikan kemampuan manusia untuk mempertimbangkan moral dan etika.Â
Dalam keputusan administratif yang melibatkan banyak pihak, seperti PHK atau penilaian kinerja, kita harus mempertimbangkan faktor moral dan emosional. AI meski canggih, tak bisa merasakan dampak emosional dari keputusan tersebut.
Menurut Roy & Dasgupta (2023), AI tidak bisa menggantikan pertimbangan moral manusia dalam keputusan yang sensitif. Misal dalam kasus PHK, sering ada faktor empati yang harus dipertimbangkan.Â
Tanpa empati, keputusan AI akan terasa dingin dan tidak manusiawi.
Jika keputusan AI salah, siapa yang bertanggung jawab? Ini adalah pertanyaan besar yang sering terabaikan. Tanpa akuntabilitas yang jelas, AI bisa menimbulkan masalah besar. Siapa yang harus disalahkan jika keputusan AI merugikan banyak pihak?
Penting untuk mengintegrasikan AI dengan pengawasan manusia yang baik. Setiap keputusan harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ini jadi tantangan besar ketika AI mulai terlibat dalam pengambilan keputusan administratif.
Kesimpulan
Meski AI menawarkan efisiensi dan kecepatan, kita tidak bisa mengabaikan masalah yang ada. Dari bias algoritma hingga masalah etika dan transparansi, AI masih menghadapi tantangan besar.Â
Sebelum diterima sepenuhnya dalam administrasi, tantangan ini harus dihadapi. Kita harus bijak dalam menggunakan teknologi ini, sambil menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap keputusan.Â