Green accounting dan carbon pricing mengubah cara bisnis Indonesia beroperasi menuju keberlanjutan yang lebih nyata.
Istilah green accounting mungkin terdengar rumit. Tapi, sebenarnya, konsep ini mulai mengubah cara perusahaan mengelola bisnisnya. Khususnya di sektor manufaktur.Â
Di tempat seperti daerah Cimahi yang punya banyak pabrik, isu ini jadi penting. Di sini, green accounting bukan hanya teori. Tapi sudah diterapkan di dunia nyata.Â
Bahkan, sekarang ada aturan yang mengharuskan perusahaan mencatat emisi karbon dalam laporan keuangan mereka. Apakah ini solusi nyata atau hanya tren sementara?
Carbon Pricing: Ujian Nyata untuk Manufaktur Indonesia
Sebelum kita bahas green accounting, kita harus tahu dulu tentang carbon pricing. Ini adalah kebijakan yang memberi harga pada emisi karbon.Â
Pemerintah Indonesia akan menerapkan pajak karbon pada 2025. Tarifnya Rp 30.000 per ton COe untuk sektor energi dan manufaktur.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2025, 146 PLTU batu bara di Indonesia sudah terlibat dalam perdagangan karbon.Â
Sistem cap and tax yang diterapkan memaksa perusahaan untuk memilih. Antara mengurangi emisi atau bayar denda besar. Kebijakan ini berlaku untuk sektor energi dan manufaktur. Artinya, perusahaan di kawasan industri seperti Cimahi juga terkena dampaknya.
Yang menarik, kebijakan ini mengubah cara perusahaan melihat biaya. Mereka tidak hanya menghitung biaya operasional biasa. Tapi juga biaya terhadap lingkungan.Â
Perusahaan harus mencari cara mengurangi emisi sambil tetap efisien dalam produksi. Ini memberi tantangan sekaligus peluang untuk berpikir lebih kreatif dalam bekerja.