Ketika seorang pejabat kepolisian tidak patuh terhadap aturan transparansi keuangan, bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa hukum ditegakkan dengan adil?Â
Bagaimana publik bisa percaya bahwa polisi benar-benar bekerja untuk melindungi rakyat, bukan untuk memperkaya diri sendiri? Â
Gaji dan Gaya Hidup yang Sus Â
Satu pertanyaan besar yang muncul dari polemik ini adalah, apakah gaya hidup mewah seorang Kapolda bisa dijustifikasi dengan gaji resminya? Â
Menurut Tempo, seorang Kapolda memiliki gaji pokok antara Rp 3,7 juta hingga Rp 6 juta. Jika ditambah tunjangan dan berbagai insentif, total penghasilan bulanannya bisa mencapai sekitar Rp 20 juta.Â
Angka yang cukup besar. Tapi apa cukup untuk membiayai gaya hidup yang terlihat glamor? Â
Di sinilah masalahnya. Masyarakat tidak hanya mempertanyakan acara ulang tahun itu sendiri, tetapi juga dari mana sumber kekayaan yang memungkinkan seorang pejabat kepolisian dan keluarganya hidup dalam kemewahan.Â
Jika sumber pendapatan mereka sah, kenapa tidak transparan? Jika ada usaha atau investasi di luar gaji pokok, kenapa tidak dilaporkan secara resmi di LHKPN? Â
Ketidakjelasan ini membuka ruang spekulasi yang memantik pikiran 'sus' (suspicious) dan memperburuk citra Polri. Â
Reformasi atau Krisis Berkepanjangan Â
Kita sudah terlalu sering melihat skandal semacam ini berakhir dengan sekadar klarifikasi atau pernyataan normatif. Tapi kali ini, Polri tidak bisa hanya berdiam diri dan berharap masalah ini mereda dengan sendirinya. Â
Ada tiga langkah konkret yang harus segera diambil jika Polri ingin memulihkan kepercayaan publik: Â
1. Transparansi LHKPN yang Ketat Â
Kapolda dan pejabat tinggi Polri lainnya harus secara aktif dan berkala melaporkan kekayaannya. Tidak hanya kepada KPK, tetapi juga kepada publik. Data ini harus bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat agar tidak ada lagi ruang untuk spekulasi liar. Â
2. Sanksi Nyata bagi Pejabat yang Hidup Hedon Â
Imbauan hidup sederhana dari Kapolri harus lebih dari sekadar kata-kata. Jika ada pejabat yang jelas-jelas mempertontonkan gaya hidup mewah tanpa sumber kekayaan yang transparan, harus ada konsekuensi yang nyata—baik dalam bentuk teguran keras, mutasi jabatan, atau bahkan pencopotan jika diperlukan.Â
3. Reformasi Budaya di Tubuh Polri Â
Kasus ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya ada pada individu, tapi pada budaya di dalam kepolisian itu sendiri. Selama masih ada budaya "asal bapak senang" dan loyalitas buta terhadap atasan, sulit untuk berharap ada perubahan yang benar-benar berarti. Â
Polri adalah institusi yang memiliki peran vital dalam menjaga ketertiban dan keadilan. Tapi jika mereka tidak bisa menegakkan standar etika di dalam tubuh mereka sendiri, bagaimana bisa masyarakat percaya bahwa mereka mampu menegakkan hukum bagi orang lain? Â