Kepercayaan publik terhadap institusi negara itu seperti gelas kaca. Sekali retak, sulit diperbaiki. Kali ini, retaknya datang dari sebuah flexing pesta ulang tahun. Â
Beberapa hari terakhir, media sosial ramai membicarakan perayaan ulang tahun Kapolda Kalimantan Selatan (Kalsel), Rosyanto Yudha Hermawan.Â
Acara ini disorot bukan hanya karena digelar di Auditorium Polda Kalsel, tetapi juga karena dianggap mewah di tengah imbauan hidup sederhana bagi pejabat negara.
Parahnya, unggahan media sosial yang diduga milik anak Kapolda menampilkan gaya hidup mewah, memicu pertanyaan publik tentang sumber kekayaannya. Â
Polda Kalsel kadung meredam polemik dengan menyatakan bahwa acara tersebut hanyalah syukuran, doa bersama, dan santunan anak yatim.Â
Tapi dalam dunia digital yang serba transparan, penjelasan ini tidak mempan. Jika sesuatu telah terpampang mewah, publik tentu akan memvonis mewah.Â
Terlebih pada situasi ekonomi yang sulit sekarang, persepsi semacam ini menjadi bom waktu yang meledakkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Â
Bukan Soal Pesta, tapi Soal Ketimpangan Â
Sebenarnya, masyarakat Indonesia tidak asing dengan pejabat yang hidup dalam kemewahan. Tapi ada perbedaan besar antara 'kaya tapi slow bae' dan 'kaya tapi rese'. Â
Ketika harga kebutuhan pokok naik dan banyak orang harus bekerja lebih keras untuk sekadar bertahan hidup hari ini, kemewahan pejabat negara menjadi isu sensitif.Â
Apalagi jika pejabat tersebut berasal dari institusi yang tugasnya menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Polisi bukan sekadar aparatur sipil, mereka adalah simbol keadilan. Â