Mohon tunggu...
ahwy karuniyado
ahwy karuniyado Mohon Tunggu... Teknologi

Tempat kamu bertumbuh bareng praktisi, kreator, dan pemilik bisnis yang belajar dan praktek AI bareng-bareng.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

AI Menurunkan Harga Pengetahuan!

20 Agustus 2025   22:49 Diperbarui: 20 Agustus 2025   22:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Haidan on Unsplash 

Dulu, konsep universitas itu simpel banget: ilmu itu barang langka. Kita bayar kuliah, hadir di kelas, kerjain tugas, lulus, lalu dapet ijazah.

Model kayak gitu punya dua fungsi penting:

ngasih akses ke ilmu yang susah dicari di tempat lain,

jadi tanda buat perusahaan kalau kita udah ngabisin waktu dan tenaga buat kuasai ilmu itu.

Kenapa bisa jalan? Karena dulu, suplai informasi berkualitas itu minim, alias langka banget. Karena langka, harganya pun tinggi---termasuk biaya kuliah dan gaji tinggi untuk lulusan kampus.

Tapi sekarang, situasinya kebalik. Grafik ekonomi geser ke kanan. Artinya, suplai ilmu makin melimpah, harga makin turun. Inilah kenapa biaya kuliah yang mahal dan keunggulan gaji lulusan makin tertekan.

Menurut konsultan global McKinsey, teknologi AI generatif bisa nambah nilai produktivitas global sampai US$2,6 triliun hingga US$4,4 triliun per tahun. Kenapa? Karena AI bikin biaya tambahan untuk menghasilkan dan mengatur informasi nyaris nol.

Model AI kayak Large Language Models (LLM) nggak cuma ngasih fakta, tapi juga bisa jelasin, nerjemahin, nyusun ringkasan, bahkan bikin draft tulisan dalam hitungan detik. Ketika suplai ilmu meledak kayak gitu, hukum ekonomi bilang: harga pasti jatuh. Imbasnya, nilai jual "knowledge premium" yang selama ini dijual kampus, mulai melemah.

Dunia Kerja Bergerak Lebih Cepat dari Kampus

Pasar kerja gercep banget. Sejak ChatGPT muncul, lowongan kerja level pemula di Inggris turun sepertiga. Di Amerika, beberapa negara bagian malah mulai hilangin syarat ijazah buat posisi di sektor publik.

Contohnya di Maryland, lowongan kerja di pemerintahan yang tadinya minta gelar kuliah turun dari 68% jadi 53% antara 2022 sampai 2024.

Secara ekonomi, perusahaan lagi ngatur ulang harga tenaga kerja. Soalnya banyak tugas rutin yang dulu dikerjain sarjana, sekarang diganti AI dengan biaya nyaris nol. Kalau chatbot bisa ngerjain tugas dengan murah, wajar dong gaji analis junior ikut terpangkas.

Tapi, nggak semua jenis ilmu jatuh nilainya. Para ekonom kayak David Autor dan Daron Acemoglu bilang: teknologi memang gantiin sebagian kerjaan, tapi juga melengkapi kerjaan lain.

Ilmu yang mudah diatur (codifiable knowledge) kayak aturan pajak atau template kontrak, cepat digantiin AI.

Ilmu yang bersifat tacit knowledge---kayak mimpin tim waktu konflik, komunikasi, dan intuisi---justru makin berharga karena susah digantikan mesin.

Data juga nunjukin hal itu. Perusahaan analitik pasar tenaga kerja Lightcast nyatain sepertiga skill yang dicari perusahaan berubah antara 2021--2024. American Enterprise Institute bilang, pekerja "pengetahuan menengah" yang kerjaannya banyak mengandalkan keahlian berulang, paling rawan tertekan dari sisi gaji.

Kesimpulannya, ilmu dasar tetap penting. Kita tetap butuh ilmu buat "nge-prompt" AI, ngecek hasil kerja AI, dan ambil keputusan bijak. Tapi nilai premium gaji sarjana makin melorot.

Apa yang Sekarang Jadi Langka?

Nobel laureate Herbert Simon pernah bilang: "Banyaknya informasi justru bikin kita kekurangan perhatian." Ketika fakta makin murah dan berlimpah, kemampuan manusia untuk memilah, menilai, dan memakainya malah jadi hal langka.

Jadi, sekarang yang mahal itu bukan informasinya, melainkan hal-hal yang susah ditiru mesin. Misalnya: konsentrasi penuh, penilaian yang bijak, etika yang kuat, kreativitas, dan kerja sama.

Penulis artikel ini bahkan bikin kerangka yang dia sebut C.R.E.A.T.E.R., yaitu:

  • Critical thinking---kemampuan bertanya dan menganalisis argumen.
  • Resilience & adaptability---tahan banting waktu keadaan berubah.
  • Emotional intelligence---paham orang lain dan memimpin dengan empati.
  • Accountability & ethics---berani bertanggung jawab atas keputusan susah.
  • Teamwork & collaboration---bisa kerja bareng orang beda pemikiran.
  • Entrepreneurial creativity---melihat peluang dan bikin solusi baru.
  • Reflection & lifelong learning---terus belajar dan memperbarui diri.

Skill kayak begini yang makin langka. AI nggak bisa sepenuhnya gantiin, makanya harganya di pasar kerja relatif tetap atau malah naik.

Apa yang Bisa Dilakukan Kampus Sekarang?

Review materi kuliah. Kalau ChatGPT aja bisa lolos ujian, ngapain ngajarin hal yang sama? Ubah penilaian ke arah kemampuan menilai dan menyimpulkan.

Investasi ke pengalaman belajar. Buat simulasi dunia nyata, proyek bimbingan, lab etika, supaya mahasiswa belajar pakai AI sebagai alat bantu, bukan jadi pemain utama.

Bikin sertifikat mikro untuk skill penting. Kayak kolaborasi, inisiatif, pemikiran etis. Ini lebih dihargai perusahaan.

Kerja sama dengan industri secara kolaboratif. Ajak perusahaan bikin desain penilaian bareng, jangan biarkan perusahaan mendikte isi kurikulum. Kampus bawa keahlian mengajar, industri bawa kasus nyata, mahasiswa bantu uji dan perbaiki.

Singkatnya, universitas nggak bisa lagi jual "kelangkaan" informasi sebagai nilai jual. Nilai tambah kampus ke depan adalah mencetak manusia yang bisa bekerja sama dengan AI, bukan bersaing dengannya.

Kalau kampus nggak cepat berubah, pasar---baik mahasiswa maupun perusahaan---bisa aja ninggalin mereka.

Intinya? Arahkan kuliah bukan sekadar ngasih konten, tapi ngajarin cara menilai, memutuskan, dan bekerja bareng mesin pintar. Karena model lama, yang menjual pengetahuan sebagai barang mahal, sudah di ujung tanduk.

Parafrase dari: Dodd (2025) di theconversation.com

Tertanda:

Muhammad Ahwy Karuniyado


.   .   .   .

Para pendiri AI for Productivity

Website: https://aiforproductivity.id/

Sosial Media Muhammad Hanif

Sosial Media Muhammad Ahwy Karuniyado

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun