Mohon tunggu...
Ahonk bae
Ahonk bae Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis Untuk Perdaban

Membaca, Bertanya & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pucuk 2023, Menziarahi Napak Tilas Istri di Kota Knalpot

1 Januari 2024   00:54 Diperbarui: 1 Januari 2024   01:17 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan libur di pengujung tahun 2023 yang sama sekali berbeda dengan libur semua orang pada umumnya, dengan di temukanya sebuah budaya yang 'agak lain' dari yang biasa di jumpai.Ragam perbedaan ditemukan seketika saat menginjakkan kaki di stasiun Purwokerto pada waktu subuh, mulai dari tukang ojek yang menawarkan jasanya hingga sopir taksi yang tak kalah jua menawarkan jasanya, sudah barang tentu dengan bahasa yang ramah khas Jawa atau akrab dengan sebutan bahasa krama.

Selanjutnya perjalanan dilakukan menuju tanah masa kecil istri, tepatnya di dusun Dukuh Dindang, Metenggemg, Bojongsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebuah desa asri yang di penuhi dengan pohon dukuh yang menjulang dan hamparan kacang yang menjalar berdampingan dengan jagung mengukuhkan sebuah desa subur serta masyarakatnya yang produktif.

Kemudian sesampainya di tempat tujuan mata ini dibuat menganga oleh pohon kelapa yang menjulang namun tak berbuah dan ada satu atau 2 dirijen terpasang di depan mancungnya, hingga pada  akhirnya memberanikan diri untuk bertanya apa, mengapa dan bagaimana dengan pohon tersebut. Dan ditemukan jawaban bahwa itu merupakan aset keluarga sebab dari air yang dihasilkan dari mancungnya akan di olah menjadi gula merah.

Satu jawaban didapat, dan langsung tangan ini mengambil smartphone dan berselancar tentang 'gula aren Purbalingga' sampai pada akhirnya terjawab sudah satu rasa penasaran atas perbedaan fungsi pohon kelapa yang berada di daerah saya yang memperlakukan pohon tersebut sebagaimana adanya.

Meski demikian benak ini masih belum terpuaskan sampai menemukan siapa yang masih memproduksinya hingga hari berikutnya seorang laki-laki paruh baya, ketika sedang berdialog mengatakan bahwa di rumahnya saat ini tengah memproduksi gula tersebut. Sontak saya langsung meminta izin untuk di perkenankan masuk dan melihat produksi gula tersebut dan dengan hangatnya saya di persilahkan untuk langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang.

Disitu saya mendapati istrinya tengah mengaduk aren yang sedang direbus dengan suhu panas di atas 100 derajat, si ibu bercerita panjang lebar mengenai pohon kelapa yang dijadikan sebagai aset keluarga hingga tak jarang banyak yang mengkontrakkan pohon-pohon tersebut untuk menutup kebutuhan keluarga dan pohon tersebut di asumsikan sebagai aset bagi keluarga di tempat ini.

Tak luput si ibu juga menjelaskan tentang produksi gula aren yang dilakukan secara turun temurun (meski tidak menyebutkan angka pasti tahunnya), dan sebagai tulang punggung roda perekonomian keluarga. Dan katanya lagi, dulu setiap rumah itu pasti memproduksi gula tersebut, namun seiring perkembangan zaman maka semakin berkurang atau hal ini biasanya hanya dilakukan oleh kaum hawa sebagai pendapatan sampingan keluarga.

Gula aren yang sedang di buat oleh si ibu hendak dijadikan gula bubuk dengan alasan harganya lebih tinggi dibanding gula cetak namun karena suhu api yang tidak stabil sehingga adonan yang dihasilkan tidak memenuhi kriteria maka si ibu memutuskan untuk membuat gula cetak saja. Dan dengan bambu yang dibentuk melingkar sebagai tempat pencetakan gula tersebut gula yang sudah di rebus serta di aduk selama 3 jam itu mulai di tuang ke tempat cetakan, dan si ibu menuturkan bahwa proses pengeringan adonannya tidak membutuhkan waktu lama, kurang lebih selama 5 menit maka gula sudah siap di kemas dan di antar ke pengepul. Terjawab sudah pertanyaan dalam benak, siapa lebih mendapatkan laba lebih banyak dan siapa yang pendapatannya selalu dalam kondisi stagnan.

Setelah itu kembali ditemukan satu perbedaan dalam budaya resepsi pernikahan yang diselenggarakn oleh saudara isrti, dengan adanya penduduk yang datang silih berganti untuk 'kondangan', memang bukan hal janggal soal kondangan itu, namun komdangan itu dilangsungkan semenjak H-3 akad nikah, siang dan malam silih berganti dengan barang bawaannya bukanlah beras sebagaimana budaya di Jawa Barat yang mafhum di jumpai, akantetapi yang di oleh mereka adalah gula, teh, makanan bahkan sayuran. Tidak ada kotak amplop sebagaimana lazimnya sebuah kondangan yang sering saya temui.

Hingga pada hari H atau hari akad nikah, malamnya si calon mempelai pria datang ke rumah calon mempelai wanita pada waktu dini hari di dampingi oleh teman-temannya, satu hal baru yang di temukan. Kemudian pada saat akad pernikahan hanya di saksikan oleh beberapa orang termasuk utusan wali pihak laki-laki, sisanya, atau rombongan pihak mempelai pria menyusul setelah akad nikah selesai, dan benar saja, kurang lebih satu jam setelah akad selesai rombongan keluarga mempelai laki-laki datang dengan membawa barang semacam kebutuhan dapur dan lain sebagainya. 

Dan langsung melaksanakan acara adat pernikahan ala-ala Jawa Tengah dengan panduan dari MC yang juga menggunakan bahasa Krama Inggilnya yang khas dan kata tukang soundsistem menyela di tengah acara bahwa jika prosesi ini selesai maka selesai sudah rangkaian acara hingga tidak ada lagi orang datang kondangan. Benar saja bahwa setelah rombongan pengantin pria bubar barisan suasana langsung sepi seketika hanya sampah saja yang memenuhi halaman rumah hajat dan itu tidak boleh di bersihkan oleh siapapun kecuali oleh pasangan pengantin baru tersebut, janggal memang, namun inilah kebudayaan, dimana bumi dipijak disitu langit di junjung, begitu pepatah yang diajarkan waktu Sekolah Dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun