Mohon tunggu...
Ahmad Faqih N
Ahmad Faqih N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Seorang pemuda yang sedang berprogres

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Meninjau Kebijakan Impor Beras: Dalih Terpaksa atau Kebutuhan?

21 Maret 2021   21:36 Diperbarui: 21 Maret 2021   22:15 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Webinar Acara "Meninjau Kebijakan Impor Beras: Dalih Terpaksa Atau Kebutuhan?"

Pak Ayib menjelaskan dampak impor bagi petani, menurut beliau pada saat situasi seperti ini kebanyakan petani memang sedang kebingungan karena gabah yang sudah panen tidak ada tengkulak yang mau beli. 

Karena akhir akhir ini sedang musim hujan sehingga kadar air tinggi dan kualitas beras di wilayah yang banyak hujan turun sementara fasilitas pengeringan dsb terbatas. Tengkulak pun tidak mau berspekulasi karena harga beras ditingkat penggilingan sedang turun. Harga premium disini (Indramayu) saja sekitar Rp. 8000 padahal normalnya bisa tembus Rp. 10.000 lebih. 

Dua minggu yang lalu beliau juga menanyakan ke petani, apa implikasi yang mereka rasakan yaitu penurunan harga disebabkan pengaruh psikologis harga pasar. Padahal kebijakan tersebut baru rumor tapi sudah memukul harga di tingkat petani terlebih lagi situasi iklim saat ini basah. Pilihan logis bagi petani adalah menjual sesegera mungkin dengan harga murah sekalipun, karena semakin lama disimpan akan semakin rugi. 

Keputusan ini juga menjadi sangat aneh, ukuran indikasi kebutuhan impor adalah ketersediaan cadangan di bulog sudah seberapa tipis, kenaikan harga tengkulak, pada tingkat produksi ada gangguan atau tidak, dan yang terakhir permintaan naik atau tidak. Melihat realitas di lapangan, keempat indikasi tersebut belum terpenuhi, justru wilayah yang  cenderung kering bisa produksi dua kali lipat karena air nya sedang banyak (seperti Indramayu). Harga beras pun di tingkat penggilingan sedang turun. 

Kami pun tidak menerima cerita ada gangguan karena hama penyakit yang cukup mayor. Pertanyaannya kemudian, "keputusan ini untuk siapa dan menjawab permasalahan apa?" Beliau sepakat perlu adanya cadangan pangan, tapi caranya yang menurut saya kurang tepat, kenapa harus impor?. 

"Saya menjadi curiga, seperti pola pola impor yang lainnya, jangan- jangan memang didrive untuk kepentingan kelompok yang lain seperti bawang putih, gula, beras di tahun 2015, itu juga terjadi manipulasi untuk kelompok tertentu. Bahkan keputusan ini tidak hanya sekedar menyakitkan, ini adalah bentuk pengkhianatan negara atas eksistensi petani. 


Kalau dikatakan Indonesia adalah swasembada/berdaulat pangan itu semua kan bermuara ke petani, ketika pandemi sektor yang meningkat adalah sektor pertanian, ketika pandemi desa dan pertanian menjadi cover bagi masyarakat kota yang di phk untuk kembali ke desa. Bahwa cita-cita pemerintah Pak Jokowi untuk berdaulat pangan, dan esensi daulatnya pangan bagi saya sendiri melihat bahwa terdapat pada daulatnya petani, tidak hanya untuk meningkatkan produksi namun juga meningkatkan kualitas hidup petani" Jelas beliau.

Menurut beliau, juga ada enabling condition yang sudah disiapkan. Coba dicek perubahan undang-undang pangan 18 2012 di UU Cipta Kerja, impor produk pangan itu menjadi setara dengan produksi negara. 

Di UU sebelumnya, pemenuhan kebutuhan pangan negeri, impor menjadi opsi paling terakhir. Namun ketika perubahan UU pangan menjadi cipta kerja, pemenuhan kebutuhan pangan bisa dari produksi dari dalam negeri atau impor. 

Saya semakin menduga kuat, dengan alas kebijakan itu, menjadi sah dan legal untuk melakukan impor walaupun produksi di dalam negeri meningkat. Jadi, secara kalkulatif, syarat/ indikasi keputusan impor ini dibuat untuk kepentingan kelompok lain semakin nampak.

"Lalu bagaimana dengan tanggapan petani terkait isu ini? Apa yang akan dilakukan pemerintah setempat untuk menindaklanjuti hal ini?", secara prinsip mereka sangat menyesalkan, mereka melihat bahwa pemerintah menjadi lemah untuk menjawab pertanyaan serius atau tidak untuk membela petani. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun