Mohon tunggu...
Zidan Novanto
Zidan Novanto Mohon Tunggu... Investor

Tulisan tidak mencerminkan tempat penulis bekerja dan tidak mengatasnamakan institusi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Stagnasi Indonesia: Macan Asia yang Terlupakan

23 September 2025   20:41 Diperbarui: 23 September 2025   22:16 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://baladena.id/wp-content/uploads/2023/02/Kekuasaan.jpg

Indonesia hari ini berjalan dengan mesin demokrasi yang bising, tapi tanpa kompas yang pasti. Hutang Negara terus bertambah, dan bagi elite angka-angka itu masih dianggap "aman" karena di bawah 60% dari PDB---tepatnya 39,06% per akhir 2023 (DJKN, Kemenkeu). Namun bagi masyarakat luas, arti angka itu sederhana: utang hari ini akan dibayar lewat pajak besok. Bunga dan cicilan utang ikut dibiayai oleh keringat mereka yang bekerja. Jadi ketika elite menyusun proyek-proyek besar yang terkadang terlihat seperti permainan, biaya riilnya tidak pernah mereka tanggung, melainkan diwariskan ke publik.

Masalahnya bukan hanya soal hutang sebuah Negara. Negara ini dihuni lebih dari 270 juta orang---besar, kompleks, dan penuh perbedaan. Mengelola Indonesia tentu jauh berbeda dengan negara kecil yang lebih homogen. Negara kecil dengan populasi terbatas bisa lebih mudah memastikan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan merata. Indonesia, dengan segala keragamannya, harus menghadapi realitas bahwa sistem pajak, utang, dan birokrasi adalah keniscayaan untuk menjaga roda negara tetap berputar. Bedanya, apakah pajak dan hutang itu dikelola untuk kepentingan publik, atau hanya jadi permainan anggaran para elite?

Indonesia sebenarnya sudah memiliki dokumen rencana jangka panjang. Kita punya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005--2025 yang disusun Bappenas, lalu diturunkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) setiap lima tahun. Secara aturan formal, RPJMN seharusnya tetap berada dalam "koridor" RPJPN. Tetapi praktik politik menunjukkan hal berbeda. Tiap presiden masuk dengan "warna" sendiri. Presiden SBY dengan jargon empat pro (pro-growth, pro-job, pro-poor, pro-environment). Presiden Jokowi dengan Nawacita dan obsesi infrastruktur. Dan rezim berikutnya hampir pasti membawa jargon baru---mungkin dengan kemasan Indonesia Emas 2045 atau narasi lainnya yang mungkin selaras dengan kepentingan dan selera Presiden.

Itulah mengapa banyak pengamat menyebut pembangunan Indonesia terkesan gonta-ganti selera meski kerangka formalnya sama. Data APBN 2024 (Kemenkeu) memperlihatkan bahwa belanja modal---yang seharusnya menopang pembangunan jangka panjang---hanya 12--14% dari total belanja negara. Porsi terbesar justru habis untuk belanja rutin dan subsidi politik. Dengan pola ini, RPJMN yang mestinya jadi peta jalan negara berubah fungsi jadi brosur kampanye lima tahunan. Demokrasi pun tampak seperti bancakan lima tahunan: siapa yang berkuasa menentukan arah, tapi arah itu sering lebih untuk mengamankan kepentingan kelompoknya ketimbang konsistensi pembangunan nasional.

Bandingkan dengan Cina, Empat puluh tahun lalu mereka masih miskin, bahkan kalah jauh dari Indonesia. Kini mereka menjadi pusat kekuatan dunia. Bukan karena mereka bebas dari korupsi---koruptor tetap ada---tetapi karena arah strategisnya konsisten. Cina punya Five-Year Plan yang dijalankan lintas generasi: modernisasi industri, pembangunan infrastruktur masif, riset teknologi, dan ambisi menjadi kekuatan global. Secara geografis pun Cina lebih ekstrem daripada Indonesia---wilayah luas, ada daerah tertinggal, kesenjangan regional---namun arah besarnya tidak berubah.

Indonesia sebaliknya. Sumber daya alam melimpah, sumber daya manusia berlimpah, orang pintar tidak kurang, tetapi arah besarnya tak kunjung pasti. Setiap rezim membawa jargon baru, seolah bangsa sebesar ini hanya perlu digerakkan oleh semangat retoris, bukan strategi jangka panjang. Maka wajar jika publik bertanya-tanya: Indonesia ini sebenarnya mau jadi negara seperti apa? Apakah mau jadi pusat energi dunia? Mau jadi raksasa manufaktur seperti Cina? Mau jadi pusat finansial seperti Singapura? Atau cukup puas jadi pasar besar bagi produk impor?

Jawaban atas pertanyaan itu tidak bisa sekadar jargon, tapi harus disertai jalan yang jelas. Menjadi pusat energi regional misalnya, berarti Indonesia berhenti mengekspor nikel, bauksit, atau batu bara dalam bentuk mentah. Hilirisasi harus benar-benar dijalankan, menghasilkan baterai listrik, panel surya, atau energi terbarukan. Norwegia sudah memberi contoh, bagaimana hasil minyak dan gas mereka dikelola melalui sovereign wealth fund untuk pendidikan dan kesehatan, bukan hanya sebagai wadah elite untuk mendapatkan jatah kue atau jabatan tertentu.

Menjadi lumbung pangan modern bukan berarti cukup swasembada beras. Mekanisasi pertanian, irigasi, riset bibit unggul, dan distribusi efisien harus dibangun. Vietnam telah membuktikan, dengan strategi serius, mereka kini menjadi eksportir beras nomor dua dunia, bahkan bersaing dengan Thailand.

Sedangkan menjadi rumah inovasi teknologi mensyaratkan investasi besar pada riset, pendidikan STEM, ekosistem startup, dan proteksi pasar untuk inovasi lokal. Korea Selatan adalah contoh ekstrem: dari negara miskin pascaperang, kini melahirkan Samsung, Hyundai, dan LG berkat konsistensi pemerintah mendorong industri nasional.

Tiga variabel itu bukan mustahil dijalankan sekaligus, asalkan pemimpin memiliki kapasitas (pengetahuan dan visi jangka panjang) dan kapabilitas (kemampuan eksekusi, keberanian melawan rente, serta konsistensi lintas rezim).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun