Dalam pernyataannya bahwa ia harus meragukan adanya Tuhan untuk dapat lebih merasakan makna kehadiran-Nya (hal. 23, 30 dan 47, umpamanya), jelas menunjukkan kebutuhannya sendiri kepada Tuhan yang itu-itu juga – bukannya Tuhan yang lain hasil 'buatannya' sendiri. Inilah yang merupakan inti kehadiran Ahmad Wahib dalam kehidupan kaum muslimin kita di permulaan tahun tujuhpuluhan: ketundukannya yang penuh kepada Yang Mutlak, dengan menggunakan cara-cara berpikir nisbi.
Selebihnya menarik terutama sebagai kesaksian historis akan potensinya yang besar di bidang pemikiran keagamaan seandainya ia tidak mati begitu muda. Betapa ia mengerti hakikat 'kebidatan'nya NU, sambil tetap tidak mampu melepaskan diri dari belenggu kecintaan kepada HMI. Betapa pandainya ia memaki kawan seiring, karena kepengecutan mereka dalam menanggung konsekuensi logis pemikiran mereka. Tetapi sambil merasa ketakutan, bahwa ia akan menganiaya mereka dengan tuntutan-tuntutan terlalu berat. Dan betapa Ahmad Wahib mampu mengajukan begitu banyak pertanyaan fundamental kepada teman-teman seagamanya, padahal ia sendiri sangat kekurangan pengetahuan dasar tentang pemikiran keagamaan itu sendiri!
Ia menyadari bahwa keterlibatannya kepada 'pembaharuan Islam' justru muncul dari kenyataan begitu besarnya kemelut kehidupan kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, Ahmad Wahib sedalam-dalamnya menyadari bahwa hanya satu-dua orang saja yang akan mampu mengikutinya. Sisanya, tetap saja berada dalam kemelut mereka.
Toh ia tak juga mau meninggalkan upaya 'meningkatkan keimanan' mereka, meskipun ia tahu akan gagal total. Dilakukannya itu tidak lain karena kecintaannya kepada Islam yang 'apa adanya saja', sebagaimana tampak di pelupuk matanya. Upayanya memberontak tidak lain karena ketakutan akan irelevansi 'Islam apa adanya' itu bagi orang lain di kemudian hari, bukan bagi dirinya.
Ternyata, kalau dilihat dari sudut ini, Ahmad Wahib merupakan sisi lain dari mata uang yang sama: ketakutan akan erosi keimanan kaum muslimin di kemudian hari. Wajah satunya lagi, adalah kuatnya kecenderungan sementara lulusan dan jebolan disiplin ilmiah eksakta untuk mengajukan 'kebenaran' Islam secara formal.
Ahmad Wahib sendiri adalah dari kelompok 'jebolan eksakta', yang kemudian lari ke filsafat. Tetapi ia menolak formalisme seperti itu. Namun tetap saja ia melakukan kerja mengukuhkan kehadiran Islam, seperti 'kaum formalis' itu.
Mengukuhkan Agama
Memang, sedalam-dalamnya Ahmad Wahib adalah seorang muslim dengan keimanan penuh. Pemberontakan yang dilakukannya justru bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininya itu. Bak tukang batu yang menghantamkan palunya ke tembok, untuk menguji kekuatan dan daya tahan tembok tersebut. Siapa dapat mengatakan menjadi 'muslim bergolak dan pemberontak' seperti Ahmad Wahib ini lebih rendah kadarnya dari 'kemusliman' mereka yang tidak pernah mempertanyakan kebenaran agama mereka sekali pun?
Kutipan berikut dari catatan harian Ahmad Wahib dengan tepat menggambarkan kesimpulan itu. "Aku bukan nasionalis, bukan katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia". (hal. 46). Alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sempurna kemuslimannya.
Abdurrahman Wahid
Sumber: http://ahmadwahib.com/id/index.php/tulisan/artikel/54-opini/70-bak-tukang-batu-menghantam-tembok#