Beberapa minggu terakhir, isu kemiskinan kembali menjadi sorotan utama di berbagai media nasional dan forum kebijakan. Hal itu karena munculnya perbedaan mencolok antara angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan laporan lembaga internasional seperti Bank Dunia. Perbedaan ini bukan semata persoalan teknis atau metodologis, tapi bagaimana negara melihat kemiskinan sebagai angka yang harus ditekan, atau sebagai wajah nyata ketimpangan yang membutuhkan tekad untuk diakui dan ditangani secara substansial.
Pada tahun 2024, dua angka yang mencolok menjadi titik masuk diskusi: BPS mencatat tingkat kemiskinan sebesar 8,57 persen, sementara Bank Dunia menyebut bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan versi global. Perbedaan ini memunculkan perdebatan, bukan hanya soal metode, tetapi tentang realitas sosial yang dikandung di dalamnya.Â
Statistik Kemiskinan yang Rapuh dan Terabaikan
Perbedaan angka antara BPS dan Bank Dunia memang berakar pada pendekatan pengukuran yang berbeda. BPS menggunakan metode cost of basic needs (CBN), yakni mengukur pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan, seperti konsumsi 2.100 kilokalori per hari, tempat tinggal, pendidikan, hingga transportasi. Garis kemiskinan nasional yang dihasilkan dari metode ini pada 2024 adalah sekitar Rp 595.242 per kapita per bulan, atau ekuivalen dengan 3,16 dolar PPP per hari.
Di sisi lain, Bank Dunia menggunakan pendekatan berdasarkan daya beli lintas negara (purchasing power parity), yang memungkinkan perbandingan kemiskinan secara global. Karena Indonesia telah berstatus sebagai negara upper-middle income, Bank Dunia menetapkan ambang garis kemiskinan di angka 6,85 dolar PPP per hari. Dengan standar ini, terdapat 60,3 persen penduduk Indonesia dikategorikan hidup di bawah garis kemiskinan. Perbedaan metodologi yang membuat perbedaaan angka kemiskinan tersebut sejatinya berbicara tentang hal yang sama: keterbatasan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Namun, lebih penting dari sekadar metodologi adalah apa yang tersirat dari data tersebut. Jika dikaji lebih dalam, data BPS menunjukkan bahwa di luar kelompok "miskin", ada sekitar 24,42 persen penduduk yang dikategorikan sebagai rentan miskin. Mereka ini berada sedikit di atas garis kemiskinan dan sangat rentan tergelincir ke bawah jika terjadi guncangan seperti kehilangan pekerjaan, inflasi, atau sakit. Ketika kelompok ini ditambahkan dengan kelompok menuju kelas menengah, maka lebih dari 80 persen warga Indonesia berada dalam spektrum kerentanan ekonomi yang tinggi.
Spektrum ini mengingatkan kita bahwa kemiskinan tidak bisa dilihat sebagai kondisi biner: miskin atau tidak miskin. Dalam kenyataannya, sebagian besar masyarakat berada dalam area abu-abu yang sering tak tersentuh oleh kebijakan sosial karena mereka tidak memenuhi syarat administratif sebagai "miskin", padahal secara substantif mereka menghadapi kesulitan ekonomi yang nyata.
Persoalan lain yang juga tak kalah penting adalah soal garis kemiskinan nasional yang tidak lagi mencerminkan perkembangan sosial dan ekonomi kita hari ini. Selama lebih dari dua dekade, garis ini belum pernah direvisi secara substansial. Kenaikan nominal yang terjadi lebih disebabkan oleh inflasi dan penambahan item belanja secara marjinal, bukan karena perubahan paradigma atas standar hidup layak. Padahal, PDB per kapita Indonesia telah melonjak hampir sepuluh kali lipat sejak krisis moneter 1998.
Sejumlah pakar menyarankan bahwa sudah saatnya garis kemiskinan dinaikkan ke kisaran 4,74 hingga 6,85 dolar PPP per hari, agar lebih sesuai dengan status Indonesia sebagai negara menengah atas. Langkah ini penting bukan untuk memperburuk citra, melainkan untuk memperbaiki akurasi intervensi kebijakan sosial. Namun pertanyaannya, maukah, atau beranikah pemerintah mengambil langkah ini? Sebab konsekuensinya jelas: jumlah penduduk miskin secara statistik akan meningkat, dan berpotensi menimbulkan persepsi negatif di mata publik. Di tengah atmosfer politik yang cenderung sensitif terhadap angka, keberanian untuk mengadopsi ukuran kemiskinan yang lebih realistis bisa dianggap tidak populis. Padahal, justru dari keberanian itulah akurasi kebijakan sosial bisa diperkuat, dan program perlindungan sosial diarahkan pada kelompok yang benar-benar membutuhkan, bukan sekadar menjaga citra keberhasilan.
Kaitan Berubahnya Ukuran Kemiskinan dengan Program Bansos Eksisting
Kemiskinan tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia berjalan beriringan dengan berbagai tantangan struktural lain seperti perlambatan ekonomi, ketimpangan antarwilayah, dan stagnasi produktivitas. Belum lagi persoalan tata kelolal yang buruk. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 dari IMF, OECD, dan Bank Dunia menunjukkan tren pesimistis---berada di bawah lima persen. Situasi ini diperburuk dengan gelombang PHK di sektor manufaktur dan menurunnya daya beli masyarakat kelas menenga dan bawah.
Berbagai program pemerintah seperti bantuan subsidi upah (BSU), program Makan Bergizi Gratis (MBG), serta stimulus konsumsi lainnya  patut diapresiasi sebagai upaya menjaga daya beli. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menegaskan perlunya penebalan bansos, terutama pada triwulan kedua tahun 2025, sebagai bentuk respons fiskal terhadap potensi perlambatan ekonomi. Penebalan ini meliputi peningkatan jumlah penerima manfaat dan nilai bantuan tunai maupun pangan, yang menurut pemerintah akan memberi efek jangka pendek dalam menopang konsumsi rumah tangga.