Mohon tunggu...
Ahmadsaleh
Ahmadsaleh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

_Tak ada kasih selembut cinta IBU_

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Refleksi Penundaan Pemilu dalam Bingkai Konstitusi

31 Maret 2022   12:25 Diperbarui: 31 Maret 2022   12:29 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu hal itu mengundang banyak polemik dibargai kalangan dari polistis, praktisi hinggah pada akademisi. Hal demikian juga banyak dinilai oleh kaum akademisi dan pakar hukum di indinesia dinilai tidak sesuai dengan tertib politik karena melewati batas lima tahun. Penundaan pemilu dinilai dapat merusak tata kehidupan demokrasi dan iklim negara hukum di Indonesia.

Penundaan pemilu dipastikan akan mengganggu iklim demokrasi sehingga hal sedemikian itu jika direalisasikan maka akan merusak konstitusi yang sudah mengatur aturan yang menjadi dasar dalam kehidupan negara demokrasi.

Mari kita melihat perintah konstitusi kita dalam Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan dengan jelas bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".

Kemudian kita bisa lihat juga dalam pasal Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yaitu "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali".

Artinya masa jabatan presiden adalah selama lima tahun dan bisa dipilih kembali dalam satu periode berikutnya sehingga wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden itu menabrak UUD 1945. Sebab pelaksanaan pemilu lima tahunan merupakan amanat konstitusi yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.

Sebagaimana juga penjelasan dari Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra yang memberikan pendapat bahwa penundaan pemilu 2024 dapat terlaksana apabila mendapat keabsahan dan legitimasi dengan tiga cara, yaitu:

Pertama, amandemen UUD 1945.
Kedua, presiden mengeluarkan dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner.
Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

Sebab cara-cara ini berkaitan dengan perubahan konstitusi yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum. Perubahan diam-diam terhadap konstitusi ini melalui praktik yang tanpa mengubah teks konstitusi yang berlaku.

Adapun Mekanisme konstitusional penundaan Pemilu 2024 dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, mengamandemen UUD 1945. Kedua, bisa dilakukan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial review di MK bisa menafsirkan makna konstitusi tertentu supaya dimaknai sebagai perkembangan zaman. Misalnya saja, orang bisa saja menggunakan  uji ketentuan pasal 167 ayat 1 UU No.7/ 2017 untuk mengetahui boleh tidaknya pemilu dilaksanakan tidak lima tahun sekali.

Selain itu, perlu juga untuk mempertimbangkan serta mewaspadai masuknya penumpang gelap dalam amandemen ke 5 UUD NRI 1945 dengan motif penundaan Pemilu 2024, Perihal penumpang gelap itu adalah  wacana presiden  "Tiga Periode". Akan muncul perdebatan diruag public jika masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden diperpanjang selama satu sampai dua tahun itu, artinya sama dengan satu periode, sehingga Harus dijelaskan bagaimana keadaan negara yang pemimpinnya tidak ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun