Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Warga Kabupaten Bandung. Sehari-hari beraktivitas memenuhi kebutuhan harian keluarga. Bergerak dalam literasi online melalui book reading and review (YouTube Shalawat Channel). Mohon doa agar kami sehat lahir dan batin serta dimudahkan dalam urusan rezeki.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Membaca Buku "Kemuliaan Mati Syahid"

14 Agustus 2021   09:02 Diperbarui: 14 Agustus 2021   12:13 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya coba bayangkan kondisi umat Islam pascaRasulullah Saw dan masa Khulafa Rasyidun. Yakni situasi keduniaan yang menuntut pemenuhan kebutuhan harian, kebutuhan popularitas, jabatan, dan kekayaan. Kondisi berbeda dengan masa Rasulullah Saw bahwa umat Islam terbimbing dan diarahkan untuk meniru pola hidup yang dicontohkan Nabi dan keluarganya. Zuhud, qanaah, berorientasi ibadah ritual dan sosial, dan punya spirit kebersamaan sehingga nilai-nilai ukhuwah terwujud dalam kehidupan. Karena Nabi sendiri yang mengingatkan, mengarahkan, dan membimbing umat. Bahkan menjanjikan kehidupan akhirat yang lebih baik. PascaRasulullah Saw siapa yang bisa berperan demikian?

Pasca Rasulullah bahwa peran "kenabian" menjadi hilang. Umat terbelah antara pendukung Ahlulbait dan Ahlus Sahabat. Konflik di Saqifah, pembakaran pintu rumah Sayidah Fatimah, dan tidak memberikan "ruang gerak" bagi Ahlulbait, sehingga memudarnya nilai profetik di tengah umat. Orientasi hidup lebih condong pada dunia, mesti tidak lupa dengan ritual lahiriah. Shalat dan dzikir atau doa tetap dijalankan, tetapi sekadar pemenuhan syariat agama semata. Sedangkan nilai dari ritual dan implementasinya hanya berakhir pada tataran dialog dan transmisi informasi keagamaan. Karena itu, perlu ada penggerak untuk mengembalikan pada nilai profetis yang diajarkan baginda Nabi.

Sayangnya upaya kembali pada ajaran Nabi Muhammad Saw dan gerakan ukhuwah serta keteguhan dalam nilai-nilai profetik tidak menyentuh kesadaran umat. Pasca wafat Ali bin Abu Thalib kondisi umat terpecah: pengikut setia Ali, kaum yang keluar dari barisan Ali, dan kaum yang sengaja menentang Ali. Kelompok yang terakhir ini beruntung secara finansial dan memiliki kemampuan menarik massa untuk menjadi pendukungnya. Kekayaan, jabatan, popularitas, kekuasaan dan segala yang terkait keduniaan dijadikan sebagai daya tarik sekaligus mampu mengubah sikap orang dari menentang menjadi pembela. Situasi ini yang dihadapi Al-Hasan dan Al-Husain, dua cucu Rasulullah Saw. 

Al-Hasan karena situasi, tidak memiliki militer, dan sedikitnya pembela sehingga berani menerima tawaran Muawiyah. Bani Umayyah yang dipegang oleh Muawiyah putra Abu Sufyan secara lahiriah dapat legitimasi dari otoritas agama, yang direpresentasikan oleh Al-Hasan. Tidak lama, nasib Al-Hasan berakhir dengan kematian karena racun. Diketahui yang meracuninya istri Al-Hasan yang dijanjikan akan dinikahkan pada putra Muawiyah. Harapan itu ternyata tidak terwujud karena penguasa Bani Umayyah menjadikannya sebagai kepanjangan tangan saja untuk meniadakan penghalang dalam mengukuhkan kekuasaan turun temurun.

Sejarah mengisahkan Yazid putra Muawiyah yang menjadi penguasa untuk seluruh negeri kaum Muslimin. Perjanjian dengan Al-Hasan (dalam hal ini representasi Ahlulbait) diabaikan, bahkan menuntut baiat Al-Husain untuk legitimasi kekuasaan Yazid. Tentu orang seperti Al-Husain yang merupakan Ahlulbait sekaligus otoritas agama, tidak mau melakukan baiat pada sosok manusia yang perilakunya keluar dari syariat agama Islam. Di sini titik mula perkara yang berakhir dengan tragis di Karbala.

Asyura, 10 Muharram 61 Hijriah. Rangkaian peristiwa demi peristiwa, dari surat undangan, berangkat dari Makkah, menuju Kufah, dan bertahan di Karbala sampai berjantuhannya kepala dan digiringnya sampai istana Yazid di Damaskus. 

Peristiwanya penuh pilu dan duka. Dengan apik, reflektif dan upaya mengambil pesan dari masa lalu untuk masa modern atau zaman yang dihadapi manusia pada abad duapuluh, Dr Ali Syariati dengan meluap penuh energi dan emosi berhasil menghidangkannya dalam buku "Martyrdom Arise and Bear Witness", yang diterjemahkan dengan judul "Kemuliaan Mati Syahid".

Buku ini terbit di Indonesia tahun 2003, penerbit Pustaka Zahra. Sayang buku ini dari sisi editing kurang apik, ada halaman hilang dan kosong serta loncat kalimat yang tidak nyambung. 

Meski begitu saya nikmati saja dengan terpaksa karena ingin dapat pencerahan dari Ali Syariati tentang peristiwa heroik yang diperankan Ahlulbait Rasulullah Saw.

Buku ini tebalnya 168 halaman. Terbagi empat bab. Bab satu berupa pendahuluan yakni lintasan historis masa Rasulullah sampai Al-Hasan. Kemudian masuk bab dua yakni Al-Husain yang menjadi titik pokok kajian dari aspek politik, budaya, nilai keteladanan, karakter jihad, sikap teguh pendirian dalam kebenaran dan tidak tunduk di bawah ancaman pedang meski nyawa hilang. Jiwa heroik, penampakkan jiwa Islam, dan membongkar "kedok" masyarakat Kufah yang awalnya dukung kemudian membiarkan, bahkan ada yang terlibat ikut dalam pasukan Ibnu Ziyad yang membantai Al-Husain beserta rombongannya, yang dilaksanakan di bawah komando Umar bin Saad atas perintah raja Yazid bin Muawiyah. Sekira tujuhpuluhan orang rombongan Al-Husain ditumpas habis oleh tiga ribuan pasukan. Tersisa kaum perempuan dan seorang putra Al-Husain yang sedang sakit.

Yang lebih tragis, kejadian ini pada Muharram yang diketahui bulan diharamkan ada penumpahan darah. 

Ambisi politik dan kekuasaan Bani Umayyah menjadikan berani untuk mengabaikan kesakralan agama. 

Tentu secara lahiriah jumlah besar yang menang, tetapi secara nilai dan moral justru Al-Husain membuktikan kemenangan yang hakiki dengan berani melawan kezaliman meski sedikit jumlah yang mendukung. Kebenaran tidak bergantung banyaknya pasukan, tetapi pada keteguhan memegang nilai-nilai agama dan istiqomah dalam jalur yang diteladankan Rasulullah Saw.

Dari peristiwa berdarah ini kebenaran makin tegak dan sejarah mengisahkan betapa buruknya moralitas umat yang tidak terbimbing nilai profetik Islam.

Bab tiga berisi ungkapan harapan dan permohonan kepada Ilahi dari Ali Syariati dalam bentuk doa panjang dan curahan manusiawi. 

Kemudian bab empat pasca syahid Al-Husain. Sebagai uraian akhir dari buku ini, Ali Syariati tidak membincangkan gerakan Attawabin maupun Mukhtar Saqafi yang memerangi tokoh dan pasukan yang membantai Al-Husain. Yang ditekankan Ali Syariati tentang kebenaran yang disuarakan Zainab adik Al-Husain yang juga cucu Rasulullah Saw.

Masyarakat menjadi tahu bahwa kebenaran berada pada Al-Husain. Karena itu, dari peristiwa heroik Asyura--oleh Ali Syariati disebut revolusi--memiliki dua misi: (1) darah berupa syahadah yang bermakna bangkit bersaksi untuk menegakkan alhaq, dan (2) pesan Zainab berupa menyampaikan kebenaran, keadilan, dan mengambil inspirasi dari peristiwa asyura untuk kehidupan masa depan.

Buku karya Ali Syariati ini tidak menyajikan rincian detail tanggal bulan maupun ruang dan waktu historis. Tidak ada detail orang maupun kecamuk perang. Tidak ada serpihan peristiwa. Karya Ali Syariati ini lebih reflektif sehingga bagi yang belum mengetahui sejarah tragedi Karbala perlu membaca buku yang terkait dengannya.

Sebagai penutup, kita ketahui bulan Muharram tahun ini berada pada bulan Agustus. Dua bulan ini menyimpan masa lalu yang sama, perjuangan dan kemerdekaan. Karena itu, dengan spirit keduanya mari berjuang dan upayakan agar merdeka dari musuh yang bukan lagi manusia dengan senjata militer, tetapi virus yang harus segera diusir, bahkan dibasmi. Merdeka! Labaika Ya Husain! *** (ahmad sahidin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun