Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Ulasan Buku "Sejarah Filsafat Islam"

8 September 2020   13:58 Diperbarui: 15 September 2020   15:33 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ahmadsahidin12 (dokpri)


Kali ini buku yang saya baca berjudul Sejarah Filsafat Islam karya Abu Bakar Aceh. Buku ini diterbitkan Ramadhani Sala tahun 1982, cetakan dua. Diberi kata sambutan oleh Mohammad Natsir bertanda tanggal 15 Agustus 1968. Cetakan satu buku ini terbit tahun 1970.

Dilihat dari tahun, ada masa mengendap buku ini sebelum keluar untuk dibaca masyarakat. Saya tidak ingin mengira alasan dari tidak langsung terbit setelah dapat kata sambut dari tokoh Islam ternama.

Saya sesali diri ini karena harusnya buku karya Abu Bakar Aceh ini dibaca sebelum membaca buku-buku filsafat Islam dan teologi, baik yang berasal dari disertasi maupun yang ditulis orang Indonesia maupun karya terjemahan. Sebab buku ini, sesuai dengan judul, menguraikan secara ringkas perkembangan pemikiran keagamaan Islam, baik ilmu Kalam maupun filsafat Islam sampai aliran salaf dan tasawuf. Bentuknya kronologis dan sistematis. Hanya saja gaya penulisannya dan kalimat dari kutipan sumber dan opini sang penulis bercampur. Sehingga kurang nyaman saat dicerna dari setiap halaman ke halaman berikutnya.

Dari karya Abu Bakar Aceh ini saya dapat mengetahui pengaruh filsafat Yunani pada umat Islam dalam khazanah ilmu dan pengetahuan, mengetahui para filsuf yang cemerlang dalam nalar rasional, perbedaan pemahaman, aliran-aliran ilmu Kalam (teologi), khazanah tasawuf, dan kajian mengenai akhlak (moral) dari para ulama seperti Abu Hamid al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

Terkait dengan moral, saya tertegun dengan kutipan yang tercantum pada halaman 134 bahwa Abu Hasyim Madani berkata: "Hanya ada satu kebajikan dan satu kejahatan bagi jiwa manusia. Kebajikan itu ialah sadar akan adanya Tuhan dan kejahatan itu tidak memiliki kesadaran tersebut."

Kemudian dari buku ini, bagian yang menarik saya tentang aliran Ahlus Sunnah. Pada halaman 93, terdapat pernyataan bahwa Abu Hasan Asy'ari (w. 965 M.) "digelarkan pencipta ikatan Ahlus Sunnah wal Jamaah." Beliau yang membela Ahmad bin Hanbal (ketika itu disalahkan kaum Mutazilah dan dijebloskan ke penjara) karena istiqamah pada teks hadis Nabi dalam menerangkan doktrin keagamaan. Karena itu, Ahmad bin Hanbal ini dijuluki ahlu al-hadis yang tekstualis.

Abu Hasan Asy'ari juga yang menentang paham Mutazilah dengan kritik dan sanggahan atas setiap argumen Mutazilah yang pernah dipelajarinya. Sekian bulan merenung, mempelajari dan kemudian memuang doktrin teologi Mutazilah. Selanjutnya ia dikenal seorang tokoh teologi Asy'ariyah yang kemudian popular disebut Ahlus Sunnah. Jadi, paham Ahlus Sunnah ini lahir masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah dipelopori Abu Hasan Asyari. Tentu jaraknya jauh dari masa Rasulullah Saw dan mungkin juga tidak dikenal oleh Khulafa Rasyidun yang empat (Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan 'Ali bin Abu Thalib).

Kalau lantas ditanya, apakah masa Rasulullah Saw ada paham-paham teologi? Tentu dapat dijawab tidak ada karena setiap perselisihan diselesaikan oleh Rasulullah Saw, baik urusan agama maupun sosial kemanusiaan. Otoritasnya penuh berada pada Nabi Muhammad Saw. Sedangkan masa Khulafa Rasyidun berdasarkan riwayat ada yang dijadikan rujukan dalam agama, bahkan khalifah yang berkuasa pun meminta nasihat. Beliau ini, 'Ali bin Abu Thalib, yang dijadikan rujukan dan dalam hadis disebut pintu ilmu. Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan saat menjadi penguasa Madinah disebutkan dalam sejarah sering konsultasi kepada 'Ali bin Abu Thalib.

Sejarah mengisahkan ada khalifah yang menugaskan mualaf dari Yahudi untuk mengajarkan agama di Masjid Nabawi. Ini perlu dikaji secara historis kesahihannya dan alasan diberi wewenang pengajaran agama oleh mualaf dari Yahudi tersebut. Sedangkan sahabat (yang dekat dengan Nabi dan masuk generasi assabiqunal awwalun) seperti Ali bin Abu Thalib tidak diberi wewenang untuk mengajarkan agama. Tidak ada catatan sejarah bahwa tiga khalifah tersebut memberikan ruang kepada Ali untuk beri pengajaran agama di masjid Madinah.  Ke mana dan apa yang dikerjakan Ali selama tiga khalifah tersebut berkuasa. Selain menjadi penasihat, yang sesekali saja diperlukan, mungkin sibuk mengurus keluarga dan membina umatnya, atau lainnya. Agak gelap bagian sejarah ini. Perlu dikaji secara ilmiah.

Tidak diragukan hampir semua buku sejarah mengisahkan pecahnya umat Islam pascawafat Rasulullah Saw. Dari Saqifah terbagi dua, antara yang menerima Abu Bakar dan yang menolak berbaiat kepadanya. Begitu juga masa Umar dan Utsman melahirkan gerakan demonstrasi hingga berujung kematian khalifah ketiga. Selanjutnya umat mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah keempat. Pada masa khalifah Ali ini umat Islam terpecah dalam gerakan politik. Setidaknya ada empat golongan yang masing-masing dikomandani oleh Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan, 'Ali bin Abu Thalib, dan Abdillah bin Wahab Rasibi. Tidak dipungkiri saat Saqifah pun pecah antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Antara yang menginginkan orang Muhajir yang menjadi pemimpin bersitegang dengan orang-orang yang menginginkan orang dari Anshar yang menjadi pemimpin Madinah setelah wafat Nabi. Sedangkan kelompok Ahlulbait seperti Ali bin Abu Thalib beserta kedua putranya tidak terlibat dalam rebutan kepemimpinan di Saqifah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun