Di Indonesia gerakan tajdid makin tumbuh sebagai komunitas berpaham Wahabi, yang tidak jarang menimbulkan masalah di tengah masyarakat yang menganut paham Ahlus Sunnah. Bentuknya gerakan pemuda hijrah dengan menggelar kajian di berbagai tempat. Meski gerak dalam kajian, sayangnya cenderung anti dengan paham atau mazhab lain yang berbeda. Dikit-dikit bilang haram, bidah, tahayul, dan musyrik. Terutama pada sejumlah kegiatan budaya yang diselenggarakan Muslim tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Kaum Wahabi ini juga anti dengan paham Syiah.
Saya sepakat dengan Abubakar Aceh bahwa "aliran (Wahabi) ini dengan seluk beluknya hampir merupakan suatu mazhab tersendiri dalam Islam" (halaman 119). Sebagai informasi bahwa pada konferensi ulama Ahlus Sunnah di Chechnya tahun 2016, para ulama menyatakan Wahabi bukan Ahlus Sunnah.
Terakhir, secara tema bahwa buku "Sejarah Filsafat Islam" ini memiliki kesamaan pada karya Nurcholish Madjid yang berjudul "Khazanah Intelektual Islam" dan karya-karya Harun Nasution.
Dari mereka saya dapat pengetahuan tentang khazanah keagamaan dan pemikiran Islam yang beraneka ragam. Seharusnya dengan aneka ragam pemahaman agama ini, umat Islam sadar bahwa agama Islam yang dipraktekan dan dicerna oleh akal manusia tidaklah bersifat tunggal. Karena itu, selayaknya umat Islam Indonesia berkenan menerima aneka perbedaan pemamahan agama dalam Islam. Menerima kekayaan paham-paham agama Islam.
Tentu dengan tetap meyakini satu paham di antara berbagai keyakinan atau mazhab agama Islam tanpa mengatakan sesat. Jika ingin mengetahui letak kesesatan tiap aliran dan paham agama maka harus belajar langsung pada tokohnya langsung dan membaca karya-karyanya serta dialog dengan pemeluknya. Cag! *** (Ahmad Sahidin)