Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Warga Kabupaten Bandung. Sehari-hari beraktivitas memenuhi kebutuhan harian keluarga. Bergerak dalam literasi online melalui book reading and review (YouTube Shalawat Channel). Mohon doa agar kami sehat lahir dan batin serta dimudahkan dalam urusan rezeki.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia, Agama, dan Akhir Kehidupan

25 Agustus 2019   10:38 Diperbarui: 25 Agustus 2019   10:49 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ujung kehidupan adalah kematian (kemusnahan). Bisa juga disebut batas akhir. Bagi manusia dan makhluk lainnya, pasti mengalaminya. Tidak ada yang bisa menolaknya. Lahir, hidup, dan mati. Itulah garis linier historis. 

Manusia dan makhluk hidup lainnya memang punya  awal kemudian berakhir. Lantas ada generasi penerus dari keturunan kita yang lahir, hidup dan kembali mati. Terus tumbuh, berkembang, dan berakhir. 

Dari setiap zaman ke zaman teruslah bergerak menuju titik akhir kehancuran Semesta alam seluruhnya sebagai tanda akhir kehidupan dunia. Saya yakin ada peristiwa ini. Dan ini doktrin agama. Anda boleh percaya, juga boleh tidak.

Tidak tahu persisnya, sudah ribuan atau milyaran atau triliyunan tahun yang berlalu kehidupan dunia ini.

Sejak manusia pertama di dunia, zaman para Nabi, dan kini setelah masa Nabi terakhir yang berjalan sampai saat ini. Sekira 15 Abad berlalu dalam hitungan kalender Islam. Hitungan kalender Kristen sekira 21 Abad. Tentu kita yang hidup sekarang ini berasal dari orangtua. 

Orangtua dari orangtuanya. Orangtuanya dari orangtuanya. Saling terhubung, terpaut. Genealogi manusia di suatu daerah. Suatu negeri. Pasti ada nenek moyangnya yang sampai pada sosok Adam dan Hawa.

Dan pasti tidak bisa terlacak kalau sampa ke zaman Adam dan Hawa. Mungkin hanya garis silsilah dari Nabi Muhammad saw yang sampai kini bisa terlacak genealogi identitasnya. Meski hanya andalkan catatan yang tidak utuh maupun penuturan lisan.

Genealogi saya sendiri belum terlacak sampai generasi pertama (Adam dan Hawa). Baru tahu sampai pada kakek dan nenek, yaitu orangtua dari orangtua saya. Mungkinkah nanti ada  keturunan dari saya, atau putra dan putri dari saudara saya yang mampu mengingat sampai tujuh tingkatan generasi?

Tapi saya duga tidak akan ingat atau bahkan tak bisa terlacak. Apalagi generasi setelah putra dan putri yang lahir dari saudara atau dari istriku, tak akan terlacak. Mungkin akan sulit terlacak garis genealogi dan generasinya.

Namun, ini perkiraan saja, yang cukup akan terus diingat (terlacak) adalah ajaran agama  yang diwariskan pada generasi setelah kita. Apalagi dijadikan doktrin maka akan terus terawat. Itu pun jika ada yang masih minat dengan agama. Jika tidak maka akan punah dan berlalu.

Meski ada masa manusia tak butuh lagi agama karena sudah capai zaman kecerdasan tertinggi dan manusia sudah mampu menanggulangi keterbatasannya, saya percaya manusia akan tiba masa kekosongan nilai atau keadaan yang membutuhkan "petunjuk", sehingga orang-orang akan cari rumusan dan konsep pada generasi terdahulu. Dan tibalah momentum kesadaran bertanya tentang asal usulnya. Di sini tentu mesti ada pemandu yang mengarahkan padanya.

Di daerah tertentu nilai-nilai (local wisdom) suatu budaya atau agama di masyarakat dirawat dalam bentuk catatan naskah dan sastra lisan. Meski dari masa ke masa keaslian lisan atau naskah kadang dipertanyakan pula otentisitasnya. 

Tapi dengan keduanya itu mesti diakui telah ada upaya menyimpan memori masa lalu dari generasi sebelum kita hari ini. Inilah yang disebut kontinuitas atau diakronik historis. 

Ilmu sejarah dan filsafat sejarah menjadi penting dalam konteks ini dipelajari agar bisa melihat masa yang telah berlalu dan menerka masa yang akan datang. Termasuk tantangan dan kebutuhan yang dibutuhkan manusia.

Kita tahu sekarang ini zaman digital. Yang berbeda dengan zaman dahulu. Dahulu orang menyimpan pengetahuan dalam naskah dan tradisi lisan, kini bisa dalam bentuk video, foto, dan rekaman suara. Yang kemudian disimpan di atas "awan" (cloud) dengan teknologi informasi. 

Dan tentu orang yang hidup di masa datang sekira seribu tahun atau kurang dari angka tersebut, jika tak ada upaya penghancuran pada cloud beserta teknologinya, maka bisa mengakses pengetahuan tersebut. Yakni dibaca, digali, dipahami informasi yang termuat di dalamnya. 

Dan itu juga  menjadi petunjuk untuk kehidupan manusia. Yang mengantarkan manusia mengetahui yang seharusnya dilakukan dan yang harus dicegah atau tidak dilakukan. Dan yang akan terus ada pada setiap zaman dan generasi itu hanya tiga rangkaian: lahir, hidup, dan mati. 

Sampai menuju masa akhir dunia. Orang beragama percaya setelah masa akhir dunia ada kehidupan, sehingga mesti disiapkan sebelum mati. Saya pun sadar tentang ini. Setelah baca doktrin agama. Mungkin kearifan lokal non agama pun ada kabar tentang masa depan tersebut.

Ah, ngelantur lagi. Maaf ini hanya renungan saja. Maaf masih campur aduk. Dan saya ucapkan hatur nuhun bagi yang sudah membaca. *** (Ahmad Sahidin)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun