Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potensi Konflik dalam Kekeliruan Memahami Konsep Al Wara' Wal Bara'

18 September 2022   06:44 Diperbarui: 18 September 2022   06:50 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada yang salah dari pemahaman kita atas konsep al-wala' wal-bara' ketika menerjemahkannya dalam bentuk sikap eksklusif, tertutup, intoleran, destruktif, dan offensif dalam kehidupan sosial dan politik. Sejatinya dalam konsep ini, terkandung nilai-nilai toleransi yang kuat. Betapa al qur'an sangat menghargai penganut paham keagamaan lain jika al qur'an dipahami sesuai dengan konteksnya. 

Dalam definisi yang paling mendasar, konsep al-wala' wal-bara' mengatur hubungan yang wajib dimiliki umat islam dengan tuhan dan sesama manusia. Istilah wala' mengacu pada kesetiaan tak terbagi yang harus ditunjukkan oleh umat islam kepada tuhan, islam dan sesama muslim atas semua hal lainnya, sementara bara' mengacu pada penyangkalan dan penolakan terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak islami.

Kalangan salafi modern berpendapat bahwa konsep al-wala' wal-bara' merupakan tameng dan alat penting bagi umat islam untuk menghadapi tantangan modernisme di dunia saat ini. Ini terjadi karena umat islam berjuang untuk mempertahankan keaslian dan legitimasi islam di tengah gempuran nilai-nilai asing dan sistem kepercayaan sebagai akibat dari penaklukan, penjajahan, dan gelombang globalisasi saat ini.

Konsekuensi dari penerapan konsep salafi modern dari al-wala' wal-bara' adalah ia mempromosikan cara hidup yang picik dan bermusuhan dengan non-muslim dan ini, dapat dikatakan, berbeda dengan pandangan islam yang lebih toleran, yang berasal dari karakter inklusif islam.

Konsep al-wala' wal-bara' dalam salafisme modern memiliki empat dimensi yaitu aqidah, sosial, politik dan jihadi (yang secara harfiah berarti perjuangan atau pertarungan). Secara umum, semua salafi menyepakati konsep al-wala' wal-bara' di tingkat aqidah. Mereka mengklaim muslim harus percaya dan menjunjung tinggi konsep tersebut karena terhubung dengan iman. Juga di tingkat aqidah, mereka mengklaim bahwa al-wala' wal-bara' penting untuk melawan setiap inovasi atau bid'ah keagamaan yang telah merayap ke dalam agama.

Namun, mereka berbeda dalam penerapan al-wala' wal-bara' ditataran sosial dan politik. Ditataran sosial, al-wala' wal-bara' dicirikan oleh penggambaran non-muslim sebagai musuh potensial, dan praktik non-islam sebagai tindakan berbahaya yang dapat mengancam kemurnian islam dan tauhid. Contoh dimensi ini termasuk memberi dan menerima hadiah dari non-muslim, bergabung dengan mereka dalam festival keagamaan mereka dan bahkan menggunakan kalender non-hijriah yang menurut beberapa salafi merupakan al-tashabbuh bil kuffar (tiruan dari non-muslim).

Adapun penggunaan konsep oleh mereka yang secara aktif memasukkan unsur-unsur politik ke dalam keyakinan mereka, beberapa salafi menegaskan bahwa umat islam harus memberikan kesetiaan mereka hanya kepada penguasa muslim yang memerintah menurut sistem islam atau syariah (hukum islam). Penguasa muslim yang tidak memerintah dengan syariah harus disangkal, dan muslim harus meninggalkan sistem politik yang tidak islami seperti demokrasi, nasionalisme dan sekularisme, sama seperti mereka diharuskan untuk melakukan bara' terhadap non-muslim.

Dalam bentuk politiknya, al-wala' wal-bara' dikaitkan dengan konsep tawhid al-hakimiyya (kedaulatan tuhan). Salafi yang menerapkan peran al-wala' wal-bara' ini biasanya memasukkan praktik takfir (menyatakan muslim telah keluar dari islam) terutama untuk seorang pemimpin muslim yang tidak memerintah secara syariah secara keseluruhan atau yang menerapkan sistem politik non-islam adalah kafir. Pemimpin tersebut sudah seharusnya digulingkan, jika perlu dengan cara kekerasan. Dimensi politik al-wala' wal-bara' dengan perbuatan takfir pada akhirnya akan mengarah pada jihad yang biasanya diwujudkan dalam bentuk menggulingkan dan menyerang mereka yang dianggap kafir.

Islam adalah agama rahmatan lil'aalamiin yang cinta kedamaian dan keadilan, tidak pernah mengajarkan kekerasan dan kerusakan di muka bumi. Kelompok radikal dan fundamental yang mendistorsi ajaran islam sehingga berujung pada tindakan terorisme dan memberontak terhadap pemerintah yang sah. Hal tersebut tentunya mengancam stabilitas dan keselamatan bangsa 

Islam bukan saja melarang mengangkat senjata melainkan juga mengambil inisiatif perlawanan bersenjata terhadap pemerintah, lebih jauh dari itu islam menyebut bahwa aksi ini sebagai bentuk kekafiran. Islam menyatakan aksi ini sebagai hasutan dan kezaliman dimuka bumi. Tidak ada hal baik yang akan datang dari mereka sebab aksi mereka akan menciptakan kekacauan dan kerusakan sosial. Oleh sebab itu, agar berbeda dengan terorisme dan pemberontakan, seseorang harus menggunakan cara-cara damai untuk melawan pemerintah. Jika seseorang telah memahami hal ini, maka dia akan mengerti bahwa tidak ada kontradiksi antara amar ma'ruf dan nahyi munkar dengan larangan pemberontakan bersenjata melawan penguasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun