Mohon tunggu...
ahmad labudi
ahmad labudi Mohon Tunggu... Ketua Ikatan Alumni STAI Baitul ArqomAl-Islami - Sekretaris PC IKA PMII Kabupaten Bandung

- Religious Studies - Agama Dan Dinamika Politik Pilkada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Knalpot Bising di Karnaval 17 Agustusan; Dosa Besar Yang Menghianati Kemerdekaan

17 Agustus 2025   13:48 Diperbarui: 17 Agustus 2025   14:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fhoto hanya ilustrasi mengeber geber knalpot dijalanan

Hampir setiap tanggal 17 Agustus, hati saya bergetar, bukan karena sorak sorai kemerdekaan atau gemerlap karnaval, tetapi karena kekecewaan yang membuncah, menyisakan luka mendalam di jiwa saya sebagai anak bangsa. Saya mencintai Indonesia, mencintai cerita heroik para pahlawan yang meneteskan darah dan keringat demi kemerdekaan. Namun, setiap tahun, di momen yang seharusnya sakral ini, saya memilih berdiam diri di rumah. Bukan karena saya tak nasionalis, tetapi karena saya muak, ilfil, dan sakit hati melihat bagaimana perayaan kemerdekaan dikotori oleh suara knalpot bising dan ulah sekelompok orang yang seolah tak punya akal sehat. Karnaval 17 Agustus, yang seharusnya menjadi cerminan kreativitas dan semangat persatuan, justru dirusak oleh nafsu kaum sempalan mencari perhatian melalui deru knalpot yang menyesakkan telinga.

Saya bukan orang yang alergi terhadap sepeda motor atau komunitas bikers. Saya menghormati mereka yang menjadikan motor sebagai sarana ekspresi atau kebersamaan, selama itu dilakukan dengan kesadaran akal sehat. Namun, apa makna dari mengaungkan knalpot brong di tengah karnaval kemerdekaan? Apa hubungannya suara bising yang mengganggu itu dengan perjuangan Soekarno, Mohammad Hatta, atau ribuan pahlawan Ulama tanpa nama yang rela mati demi tanah air? Saya melihat ini sebagai pengkhianatan. Ya, pengkhianatan terhadap darah pahlawan yang tumpah, terhadap semangat juang yang seharusnya kita junjung tinggi di hari kemerdekaan. Mereka yang dengan bangga memamerkan knalpot bising itu seolah menertawakan perjuangan leluhur kita, menggantinya dengan aksi murahan yang tak lebih dari keinginan untuk dilihat, didengar, dan dipuji---meski dengan cara yang salah.

Setiap tahun, ceritanya sama. Disebagian desa, di kecamatan saya, malah tidak terjadi di kecamtan tetangga, karnaval 17 Agustus yang seharusnya diisi dengan parade budaya, kostum kreatif, atau atraksi yang membanggakan identitas bangsa, malah dirusak oleh deru knalpot yang tak kunjung henti. Saya pernah menyaksikan sendiri, melewati depan rumah saya sendiri, bagaimana sekelompok anak muda-atau mungkin mereka yang merasa diri paling gagah-menggeber motor dengan knalpot modifikasi yang suaranya seperti petir di siang bolong. Mereka berkonvoi, berteriak, dan tak jarang memicu perkelahian dengan kelompok lain yang sama-sama ingin unjuk gigi. Apa ini yang dinamakan merayakan kemerdekaan? Apa ini yang disebut semangat 17-an? Saya sampai habis fikir dan sakit hati. Ini bukan perayaan, tapi ini kekacauan!

Yang lebih menyedihkan, pihak yang seharusnya bertanggung jawab - panitia kemerdekaan, pemerintah Desa, Kecamatan, Polisi, hingga Babinsa - justru membiarkan ini terjadi. Mereka seolah menutup mata, memaklumi ulah sekelompok orang yang jelas-jelas merusak esensi kemerdekaan serta menghilangkan khidmat kemerdekaan, bagaimana bisa mereka diam saja ketika knalpot bising itu tak hanya mengganggu warga, tetapi juga memicu pertengkaran dan perkelahian? Bukankah tugas mereka memastikan bahwa perayaan 17 Agustus berjalan dengan aman, tertib, dan bermakna? Membiarkan kebisingan ini berulang setiap tahun adalah dosa besar, sebuah kelalaian yang menunjukkan betapa rendahnya kepekaan sosial mereka. Mereka gagal memahami bahwa karnaval bukan sekadar ajang ramai-ramai, tetapi cerminan bagaimana kita menghormati sejarah dan memaknai kemerdekaan.

Saya selalu membayangkan, setiap karnaval 17 Agustusan dipenuhi dengan warna-warni kreativitas. Bayangan anak-anak muda disetiap kampung membuat motor hias bertema pahlawan, mengenakan kostum pejuang kemerdekaan, atau menggelar parade budaya yang membanggakan kearifan lokal. Tapi harapan itu pupus setiap kali saya mendengar deru knalpot yang memekakkan telinga, diikuti teriakan dan caci maki antar kelompok. Saya tak lagi ingin keluar rumah, tak lagi ingin ikut merayakan di tengah keramaian. Bukan karena saya tak cinta Indonesia, tetapi karena saya tak sanggup menyaksikan bagaimana momen sakral ini dinodai oleh mereka yang hanya ingin pamer kehebatan semu. Hati saya terluka, seolah perjuangan para pahlawan yang saya junjung tinggi diinjak-injak oleh mereka yang tak paham makna kemerdekaan.

Saya ingin bertanya kepada mereka yang mengaungkan knalpot itu: apa yang kalian cari? Apakah suara bising itu membuat kalian merasa lebih jantan, sehingga lebih diperhitungkan? Apakah kalian bangga ketika warga menutup telinga, mengumpat kesal, atau anak-anak kecil menangis ketakutan karena suara motor kalian? Apakah kalian tahu bahwa kemerdekaan bukan soal kebebasan untuk seenaknya, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab, yang menghormati orang lain dan mempunyai kreativitas bergengsi? Saya yakin, banyak dari mereka tak pernah memikirkan ini. Mereka terjebak dalam nafsu untuk diakui, untuk menonjol, meski dengan cara yang merugikan banyak orang.

Dan kepada panitia serta aparat, saya ingin menegaskan: ki sanak punya andil besar dalam kekacauan ini. Ketidaktegasan -ki sanak, sikap permisif- ki sanak, adalah bensin yang menyulut api kerusuhan. Ki sanak punya kuasa untuk membuat aturan, melarang knalpot bising, mengedukasi anak muda, atau mengarahkan mereka pada kegiatan yang lebih bermakna. Tapi -ki sanak memilih diam, memilih membiarkan, seolah ini bukan masalah besar. Padahal, setiap deru knalpot yang -ki sanak biarkan adalah tamparan bagi mereka yang ingin merayakan kemerdekaan dengan hidmat dan bermartabat.

Saya menulis ini bukan sekadar untuk meluapkan amarah, tetapi karena saya peduli. Saya ingin 17 Agustus menjadi momen yang membanggakan, bukan memalukan. Saya ingin anak-anak muda di kampung, di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa mereka bisa lebih dari sekadar penggeber knalpot. Saya ingin panitia dan aparat sadar bahwa tugas mereka bukan cuma menggelar acara, tetapi menjaga marwah kemerdekaan. Saya bermimpi suatu hari, karnaval 17 Agustus akan dipenuhi parade budaya, kreativitas, dan semangat persatuan, tanpa disertai suara knalpot geber geber yang menghancurkan makna.

Untuk saat ini, saya memilih mengenang kemerdekaan dari dalam rumah, dengan membaca kisah perjuangan pahlawan dan berdoa agar generasi kita belajar memaknai kebebasan dengan cara yang benar. Saya sakit hati, tetapi saya tak akan berhenti berharap. Kepada kalian yang masih memilih geber-geber knalpot bising sebagai cara merayakan, renungkan: apakah ini yang pantas kita persembahkan untuk Indonesia? Kepada panitia dan aparat, dengarkan suara kami: hentikan kelalaian ini, kembalikan makna sejati kemerdekaan. Karena, jika kita terus membiarkan ini, kita bukan hanya gagal sebagai penyelenggara, tetapi juga gagal sebagai anak bangsa.

"Robbi anzilni munzalan mubarakan wa anta khairul munzilin"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun