Jakarta, Mei 2025 — Dalam kehidupan rumah tangga modern, semakin banyak perempuan berperan sebagai pencari nafkah utama. Namun, banyak yang belum mengetahui bahwa dalam hukum Islam di Indonesia, harta yang diperoleh selama pernikahan tetap dianggap sebagai harta bersama (gono-gini)—tanpa mempersoalkan siapa yang mencarinya.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama tanpa mempersoalkan siapa yang bekerja untuk memperolehnya.”
Dengan demikian, meskipun istri bekerja keras sendirian, bahkan ketika suami tidak bekerja atau tidak berkontribusi secara ekonomi, suami tetap berhak atas bagian dari harta yang dikumpulkan selama masa pernikahan.
Ahmad Kawakiby: “Hukum Agama dan Negara Tidak Melihat Siapa yang Bekerja”
Dalam salah satu unggahan edukatifnya di akun Instagram @ahmadkawakiby, advokat dan pakar hukum keluarga Islam ini menyatakan:
“Banyak yang merasa tidak adil ketika istri bekerja keras, tapi suami tetap dapat bagian saat bercerai. Tapi begitulah logika hukum kita. Islam mendorong kerjasama, bukan akuntansi kaku. Tapi kalau suami tidak bertanggung jawab sama sekali, hakim bisa mempertimbangkan itu.”
Unggahan tersebut memancing diskusi hangat di kolom komentar, terutama dari kalangan perempuan yang merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian harta bersama. Ahmad menjelaskan lebih lanjut bahwa pengadilan memiliki diskresi untuk memutuskan proporsi pembagian harta jika ada bukti kuat bahwa salah satu pihak bersikap nusyuz atau lalai.
Ketidaksetaraan yang Bisa Diperjuangkan
Dalam praktiknya, banyak perempuan tidak tahu bahwa mereka bisa meminta hakim mempertimbangkan kontribusi sepihak mereka. Ini bisa mempengaruhi pembagian harta yang tidak harus selalu 50:50.
“Jika bisa dibuktikan bahwa suami tidak memberi nafkah, berlaku kasar, atau tidak mendukung secara moral dan ekonomi, maka istri bisa mendapatkan bagian lebih besar,” jelas Ahmad Kawakiby dalam salah satu sesi live di Instagram.