Kadang, kita menemukan diri kita sendiri bukan di cermin, tapi di dasar panci yang mengkilap.
Di sanalah tawa getir, kenangan lama, dan diri yang terlupa saling menyapa---diam-diam, tapi jujur.
Karena tertawa sendirian bukan selalu tanda gila, bisa jadi itu cara paling waras untuk tetap bertahan.
Ada yang aneh saat aku menunduk ke arah panci di dapur pagi itu. Bukan karena ada air mendidih atau sisa kuah semalam yang menempel di sudutnya, tapi karena di permukaan logamnya yang mengilap, aku melihat diriku sendiri---dan tertawa.
Itu bukan tawa yang meledak atau yang membuat perut geli. Bukan pula tawa kemenangan. Itu semacam tawa lirih, seperti gumam kecil yang hanya bisa dimengerti oleh seseorang yang sudah terlalu lama berbicara dengan kesunyian.
Bayangan di panci itu memantulkan wajah yang sama seperti yang kulihat setiap hari di cermin kamar mandi. Tapi ada yang berbeda. Di sana, mataku lebih jujur, senyumku lebih getir, dan kerutan kecil di sudut bibir terlihat seperti bekas luka yang lama dipelajari tapi tak kunjung dimengerti.
Panci itu seperti teman bicara yang tak pernah menghakimi. Ia hanya diam, menerima semua gurat ekspresi yang kutampilkan padanya. Dari tawa, tangis, marah, hingga kosong. Mungkin karena ia tak pernah diminta untuk memahami, tapi justru selalu ada.
Aku teringat bagaimana dulu aku menertawakan hal-hal sederhana: sendal putus di tengah jalan, teh tumpah ke baju kerja, atau pesan salah kirim ke mantan. Kini, semua terasa seperti serpihan mozaik dari seseorang yang perlahan terhapus dari dirinya sendiri. Dan aku mulai bertanya, seberapa banyak bagian dari diriku yang tersisa?
Menertawakan bayangan di panci mungkin terdengar konyol. Tapi bagi sebagian orang, itu adalah bentuk terapi. Cara kecil untuk berdamai dengan sunyi, dengan rutinitas, dan dengan diri sendiri yang kadang terlalu rumit untuk dicintai.
Dalam kehidupan yang terus berlari, panci mengkilap itu menjadi cermin kecil yang mengajak kita berhenti sejenak---bukan untuk berbenah, tapi untuk menerima. Bahwa tertawa dengan bayangan sendiri bukan tanda gila. Mungkin justru itu tanda kita mulai mengenal siapa yang sebenarnya selalu menemani kita: diri kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI