Kebiasaan membaca pernah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dari buku pelajaran, koran pagi, hingga majalah mingguan, membaca dianggap sebagai jendela ilmu yang membuka wawasan. Namun, kini tradisi itu perlahan tergeser oleh kehadiran media sosial yang menyajikan informasi instan, cepat, dan menghibur.
Generasi muda lebih sering menghabiskan waktunya menggulir layar TikTok atau Instagram dibanding membuka buku. Fenomena ini memunculkan ironi: kita hidup di era informasi, tetapi minat membaca justru menurun. Konten singkat yang viral memang menarik, tetapi sering kali tidak memberi kedalaman makna yang sama dengan membaca buku.
Sudut pandang baru yang perlu ditegaskan adalah bahwa membaca tidak harus dipandang sebagai aktivitas "lama dan membosankan." Justru di era digital, membaca bisa menjadi senjata untuk memilah informasi, melawan hoaks, sekaligus memperkuat daya kritis. Tanpa kemampuan membaca yang baik, masyarakat mudah terjebak dalam arus opini yang menyesatkan.
Sayangnya, budaya membaca kerap dianggap kalah menarik dibanding hiburan visual. Anak-anak lebih familiar dengan drama Korea terbaru atau tren challenge di TikTok ketimbang nama-nama penulis besar Indonesia. Padahal, literasi adalah pondasi bangsa yang tak bisa dibangun hanya dengan hiburan instan. Jika dibiarkan, fenomena ini bisa melahirkan generasi yang cerdas secara teknologi, tetapi rapuh dalam berpikir mendalam.
Yang menarik, sebenarnya media sosial tidak harus diposisikan sebagai "lawan" buku. Justru bisa menjadi jembatan untuk menumbuhkan kembali budaya membaca. Banyak penulis muda yang kini memulai kariernya lewat postingan di Instagram atau cerita pendek di platform digital. Konten literasi dalam bentuk ringkasan buku, ulasan bacaan, hingga kutipan inspiratif bisa menjadi cara kreatif mengajak generasi muda kembali bersentuhan dengan bacaan.
Perubahan pola membaca juga perlu diterima sebagai kenyataan. Tidak semua orang lagi nyaman duduk berjam-jam dengan buku tebal. Namun, buku digital, artikel singkat, hingga audiobook bisa menjadi solusi alternatif. Intinya bukan sekadar bagaimana cara membaca, tetapi bagaimana esensi membaca tetap hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Peran keluarga dan sekolah juga tidak bisa diabaikan. Orang tua yang memberi contoh dengan membacakan buku untuk anaknya akan jauh lebih berpengaruh dibanding sekadar menyuruh. Guru pun bisa memanfaatkan media sosial untuk menumbuhkan minat baca dengan pendekatan kreatif.
Jika membaca terus dipinggirkan, kita akan kehilangan salah satu kekuatan terbesar dalam membangun peradaban: kemampuan memahami secara mendalam. Sebaliknya, jika budaya membaca kembali dihidupkan, bangsa ini akan memiliki generasi yang bukan hanya mahir memainkan jari di layar, tetapi juga tajam dalam berpikir dan bijak dalam bertindak.
Membaca bukan sekadar kegiatan hobi, melainkan kebutuhan. Di tengah derasnya arus informasi, membaca adalah kompas yang menuntun kita agar tidak tersesat. Kini saatnya kita menghidupkan kembali budaya membaca, dengan cara yang relevan, kreatif, dan dekat dengan keseharian generasi muda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI