Di era digital, banyak orang bangga menyebut dirinya sibuk. Agenda penuh, rapat beruntun, dan notifikasi tak henti menjadi simbol status baru. Namun, apakah kesibukan itu benar-benar berarti kita produktif, atau hanya jebakan budaya kerja yang memuja aktivitas tanpa arah?
Fenomena ini sering membuat kita lupa membedakan antara produktivitas dan sekadar kesibukan. Produktivitas adalah hasil yang terukur dari kerja yang fokus, sedangkan kesibukan sering kali hanyalah ilusi kemajuan. Banyak yang bekerja berjam-jam, tetapi output yang dihasilkan tak sebanding dengan energi yang terkuras.
Media sosial memperparah tren ini. Unggahan "hustle culture" membuat banyak orang merasa harus terlihat sibuk agar dianggap sukses. Padahal, mengorbankan kesehatan fisik dan mental demi citra produktif justru merusak kualitas hidup. Kita jarang diajarkan bahwa jeda, istirahat, dan waktu hening adalah bagian penting dari kerja yang efektif.
Jika ingin keluar dari perangkap budaya sibuk, kita perlu mengubah tolok ukur kesuksesan. Alih-alih menghitung berapa banyak hal yang kita lakukan dalam sehari, fokuslah pada hasil dan dampak yang dihasilkan. Produktivitas sejati tidak diukur dari jumlah jam kerja, melainkan dari kualitas pencapaian dan keberlanjutan energi kita untuk jangka panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI