Kujalani rutinitas keseharianku dengan penuh ketabahan. Walau hidup sebatang kara membuatku agak sering melamun.
Lamunanku buyar ketika seorang nyonya tionghoa berusia paruh baya melambai ke arahku. Sigap kuhampiri nyonya tersebut.
“Tolong belanjaan ini bawa ke mobil ya, Ndhuk” perintah nyonya tionghoa tersebut dengan wajah ramah, sambil tangannya menunjuk ke mobil yang dimaksud.
Aku mengangguk seraya bergegas melaksanakan tugas. Dan nyonya setengah baya itu kembali tersenyum saat melihatku teperangah menerima upah yang… alangkah besarnya! Dengan langkah penuh syukur aku pulang ke rumah.
Tapi tak setiap hari pencarian nafkahku membuahkan hasil. Seperti sore ini, ketika tak ada seorangpun yang menggunakan jasaku, membuatku terkenang akan kebaikan nyonya tionghoa setengah baya kemarin.
Dengan penuh harap, kutunggu nyonya baik hati itu di pasar. Tapi sepertinya beliau tak setiap hari berbelanja. Dan hingga petang menjelang, tetap tak satupun yang memakai jasaku.
Dengan langkai lemah kaki-kaki kecilku berjalan, menuju gubuk kediaman almarhum Pak Min yang terbuat dari kardus, yang didirikan pada sepetak tanah kosong di pinggir kali Surabaya. Perutku mulai berdemo karena sejak pagi belum kuisi. Hanya air keran dari WC umum pasar yang bisa kujadikan pengganjal lapar gratisan, walau tentu saja tak benar-benar mampu mengganjal.
Dua kelok lagi sebelum aku sampai ke gubuk, pandanganku menumbuk sesuatu yang menggoda mata dan perutku: Rumah Makan Padang.
Dengan agak ragu, kualihkan langkah menuju kesana. Aku tahu resiko yang akan kualami jika mendekat ke sana, diusir. Tapi nyeri di perut menuntut agar aku tetap ke sana.
Nekat kudekati Rumah Makan Padang tersebut melalui pintu belakang, dan menawarkan diri untuk membantu mengerjakan apapun yang bisa kulakukan.
Baru saja kalimatku usai terucap, ketika salah satu karyawan wanita bertubuh bongsor hendak mengusirku. Tapi untunglah dicegah oleh karyawan yang satunya lagi.