Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inilah Orang-orang Indonesia yang Anti Mainstream

17 Juli 2015   21:07 Diperbarui: 17 Juli 2015   21:07 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Supir Truk Menulis Buku, Tukang Mie Ayam Menulis Buku. Bagaimana dengan Kita?

Hidangan lebaran Si Bayangan kali ini adalah tentang daya juang, mengingatkan kita bahwa untuk berkarya, benar-benar tak butuh syarat dan ketentuan apapun selain keinginan melakukannya. Begini ceritanya…^_

Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar ada seorang tukang mie ayam yang menerbitkan buku.

“Ini pasti cuma hoax!” demikian pikir saya waktu itu, mengingat ‘watak paling umum’ bangsa ini yang mudah gumunan. Apalagi jika terkenang model serupa telah amat membosankan dilakukan kalangan artis dan industri musik, menggoreng sensasi dengan cara yang paling menyebalkan tentang affair Si Anu dengan Si Itu sebelum mereka mengeluarkan karya terbaru, yang anehnya masih juga mampu untuk mendongkrak penjualannya.

Penasaran, saya cek ke tetangga sebelah. Dan… Wuih! Ternyata tukang mie ayam asli, dan bukannya jelmaan dari tokoh jejadian yang sebelumnya pernah terdaftar sebagai direktur ini pimpinan pegiat komunitas itu, yang bangkrut karena ditikam orang kepercayaan lalu banting setir hanya demi mencari nasi.

Dari tetangga pintar berbentuk mesin pencari itu pulalah kemudian saya dapati, bahwa karya-karya yang telah dibukukan oleh Si Tukang Mie Ayam tadi ternyata tak hanya satu.

Ada sekitar belasan, yang semuanya cuma diketik menggunakan HP di sela waktu melayani pembeli. Benar-benar sesuatu yang amat menyentil mengingat betapa seringnya kita mendengar ada saja alasan untuk menunda ‘penulisan karya besar’, hanya karena perangkat musik di laptop tengah rusak atau terpasung kesibukan beruntun yang ternyata cuma kegiatan remah keseharian belaka.

Masih dari mesin pintar yang tadi pula saya kembali menemukan satu sosok yang agak tak biasa lainnya.

Kali ini supir truk. Di luar negeri, memang. Tapi tetap tak mengurangi rasa keanehannya mengingat ‘pilihan favorit’ TKI kita yang, jika tak menjadi pembantu pastilah buruh perkebunan.

Tahukah kau apa alasan supir truk tersebut bertuing-tuing ke luar negeri? Demi menemani sang istri yang mendapat beasiswa pendidikan di sana. So sweeettt…^_

Tapi tak seperti umumnya ‘karya’ supir truk yang pernah saya rekam dalam artikel “Cara Menghormati Mantan Presiden yang Paling Buruk” di link yang ini, supir yang satu ini amat jauh bertolak belakang, dengan muatan isi buku yang niscaya akan langsung membuat kita ternganga-nganga. Tentang daya beli dan keadilan dalam memperbandingkan Indonesia dengan negara lain. Tentang kecenderungan ber-negative thinking atas apapun terhadap siapapun. Tentang agama bahkan juga pendidikan. Dan itu sesuatu yang cukup menggiurkan, terutama jika mengingat bahwa penulisnya cuma seorang supir truk…^_

Bertambah lengkap lagi saat kembali saya temui sosok yang sama anehnya. Anak muda yang dengan amat datar menuliskan rangkaian kisah di bukunya, tanpa saya dapati satupun gejolak emosi atau tanda seru di dalamnya, yang bahkan dengan cara se-linier itu tetap mampu melibatkan emosi pembacanya.

Ketiga sosok anti mainstream itulah yang akhirnya menghasut ingin saya, hingga menghabiskan lebaran dengan cara membacai satu demi satu hasil karya mereka.

 

Pendekatan Paling Adil dalam Menilai Indonesia.

Dari ketiga karya merekalah kemudian saya kembali memantapkan pemahaman, bahwa Indonesia, tetaplah negeri terhebat yang pernah saya kenal dan tinggali.

Ini bukan tentang nasionalis –yang seringkali kita gadang-gadang hanya ketika tengah membutuhkan untuk menyerang pihak tertentu, misalnya- melainkan murni pendekatan rasionalis, lengkap dengan deretan angka serta data pendukung yang lainnya.

Dari supir truk tersebut saya memperoleh penalaran yang lebih terstruktur tentang apa itu daya beli, yang membuat saya tak gumun sedikitpun membaca artikel sobat kompasianer Gaganawati, tentang kenapa di Jerman tarif becak membumbung tinggi –dan tetap terasa murah- sementara untuk jarak dan durasi yang sama ongkos mbecak di Indonesia njomplang banget murahnya, yang sayangnya tetap saja terasa membebani. Walau tentu saja ketidak gumun-an tersebut bukan berarti langsung menghilangkan keunikan dari artikel yang tadi. Artikel tersebut tetap etnik, dengan saya yang tetap juga tak tergelitik, karena unik dan menggelitik jelas sesuatu yang berbeda, yang amat tergantung dari selera para penikmatnya.

Menggunakan harga rokok sebagai perbandingan, sekilas kita akan langsung ter-provokasi bahwa harga batang pembunuh yang terlalu murah itulah mungkin yang menjadi faktor terbesar dari banyaknya pecandu asap di negeri ini.

Betapa tidak? Harga rokok perbatang di Indonesia cuma seribu rupiah, sementara di Australia yang bertetangga, nilainya langsung berlipat sepuluh, menimbulkan dugaan harga murah tersebut tentulah akal-akalan pabrik rokok, dengan tujuan semakin menjerat masyarakat melalui ketergantungan nikotinnya.

Dari dugaan itulah kemudian muncul rangkaian ketidak adilan, tentang anggapan komoditas tertentu di Indonesia yang memiliki efek negatif terlalu murah harganya, sementara barang-barang yang amat berguna bagi masyarakat justru teramat mahal. Tapi benarkah kesimpulan tersebut?

Dalam teori yang paling sederhana tentang daya beli, yang dibutuhkan bukan sekedar memperbandingkan harga barang tertentu di negeri ini dengan negeri seberang belaka, yang biasanya berisi dalil yang penuh dengan hawa nafsu pribadi demi menjatuhkan pihak yang berseberangan. Ada banyak pendekatan yang bisa dilakukan. Salah satunya mungkin besaran pendapatan.

Dengan asumsi bahwa upah pekerja di Australia rata-rata 20 dolar per satu jam, maka jumlah pendapatan selama satu hari bekerja sebesar 160 dolar. Sementara dengan hitungan yang sama, UMR pekerja Jogjakarta tahun kemarin yang sebesar Rp. 1.173.500,- dibagi dua puluh hari, maka hasilnya adalah sebesar Rp. 58.665,- perhari.

Dari data tersebut, jika harga rokok di Indonesia tetap seribu perbatang dan harga di Australia taruhlah sebesar 1 dolar perbatang, dapat disimpulkan bahwa harga sebatang rokok di Australia 1/160 dan di Indonesia 1/59 dari upah per satu hari kerja. Dan itu artinya, harga rokok di Indonesia sama sekali jauh dari kata murah, melainkan hampir tiga kali lipat dari harga di Australia!

Silakan mencoba perhitungan sederhana ini untuk beras, sayur, daging dan sebagainya hingga kita dapat lebih adil mensikapi, tentang benarkah harga barang tertentu negeri ini jauh lebih murah atau justru melampaui mahalnya harga di negeri yang lain?

Lantas, dimana hebatnya Indonesia…?

Saya teringat pengalaman bercengkrama dengan beberapa teman maya yang asing sama sekali, saat ingin mencari tempat yang nikmat untuk menulis.

“Yang masih bersuasana pedesaan, Kawan, nanti saya pakainya visa pelajar, bolehlah…” ucap saya ke gadis muda yang berdomisili di Malaysia, yang langsung direspon saat itu juga.

“Ada di dekat sini, Bay, biaya hidupnya murah, cuma sekitar RM 6.000 perbulan… lengkap dengan suara jangkriknya…”

Murah? Cuma RM 6.000?

Pikiran saya langsung melayang, teringat bahwa di beberapa desa wilayah Jawa Tengah, uang sejumlah itu bukan hanya cukup untuk biaya hidup satu bulan saja, melainkan: SELAMA SATU TAHUN…!!!

Bahkan belum lama saya kembali membaca dari perbukitan Banjar, tentang mamah muda yang memposting penggunaan uang belanjanya untuk memborong lauk-pauk lengkap hari itu, ditambah dengan buah rambutan beberapa ikat, hanya dengan menghabiskan uang sebesar Rp. 10.000,- (yang jika di ibukota bahkan harga rambutannya saja menghabiskan sekitar Rp. 25.000,-).

Bagaimana dengan daya belinya, Bay?

Tidak terlalu buruk. Ada cukup banyak pekerjaan informal paruh waktu yang bisa meng-cover kebutuhan harian. Dan dengan sedikit kreatif bukan sesuatu yang rumit menyulap halaman samping menjadi kebun sayur organik mini, yang tentu langsung memberikan kontribusi pada hematnya pengeluaran harian yang tadi, serta banyak lagi kreatifitas lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang amat menyenangkan, mengingatkan saya akan program Simple Life! yang pernah booming di media elektronik.

Dan kehidupan yang telah amat mengalami percepatan ini, mengingatkan saya pada banyaknya sosok-sosok yang merindukan kedekatan dengan alam, yang lebih memilih untuk meng-eliminir sebanyak mungkin kebutuhan akan benda-benda canggih peradaban, hanya demi terlepas dari biaya penggunaan dan pemeliharaannya, hanya demi bisa bekerja lebih sedikit, hingga waktu yang tersisa dapat dialokasikan untuk lebih menikmati hidup dan jati diri sebagai manusia.

Saya pribadi berpendapat tidak perlu se-ekstrim itu, karena –jika di Indonesia- kita masih bisa bergandengan dengan beberapa teknologi canggih yang bisa memperingan beban hidup, dengan tetap bekerja lebih sedikit –yang seringkali saya anggap bukan sebagai pekerjaan saking asyiknya- yang setelahnya kita tetap bisa menikmati alam dan juga hidup, hingga tetap bisa untuk terus bertahan menjadi manusia, dan bukannya mesin atau serigala.

Bagaimana cara terbaik untuk bisa menuju ke sana? Mungkin nanti akan kembali saya sambung tulisan ini, tentang negeri yang bahkan jika sumber daya alamnya habis sekalipun, tetap memiliki potensi keragaman hayati yang amat tak ternilai.

Semoga Indonesiaku tetap bisa seperti ini, kemarin, sekarang…juga nanti.

Secangkir Kopi Indonesiaku Hebat, Kompasiana-015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun