Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Menghormati Presiden yang Paling Brutal

22 Mei 2015   23:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:42 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1432312450255228448

“Mencari nafkah, demi memburu desah.”

Demikian kalimat yang tertulis di pantat belakang sebuah truk, yang entah mengapa amat pintar membuat resah, walau sesekali juga begitu mengundang minat kita untuk tertawa.

Bagi yang lelah terpapar iklan politik, mengamati bagaimana awak truk mengekspresikan diri adalah salah satu alternatif pencerahan. Kadang bikin trenyuh. Kadang memancing tawa. Seringkali amat religius. Tak jarang penuh nuansa asusila. Tapi tetap menyihir kita untuk terkesima. Mengingatkan kita pada ruang riuh yang tak jauh berbeda buah karya citizen Journalism di Kompasiana.

Tapi kesucian itu akhirnya tergores juga. Terkotori. Tak lagi lugu, dan –terutama sekali- tak lagi murni. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah: Titiek Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto.

Masih ingat dengan slogan, “Kepenak zamanku, tho … “ yang amat fenomenal itu…? Yang redaksi awalnya terpampang di ruang kosong penutup bagian belakang bak truk dengan amat manisnya, lengkap dengan senyum teduh nan arif dari gambar sosok presiden RI ke-dua, yang tak lama setelahnya cukup mengejutkan penyebarannya sebagai viral politik…? Baru dua hari kemarin semua terjawab, tersingkap, langsung melalui ucapan salah satu anggota ‘Keluarga Cendana’ liga yang paling utama.

"Kalau kita ke daerah itu selalu banyak yang mengeluhkan kondisi sekarang. Sampai ada stiker 'enak zaman Pak Harto'. Nah ada kayak gitu. Itu bukan kami yang buat. Itu keluar dari masyarakat."

Demikian ucap Mbak Titiek di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta pada tanggal 05 Mei kemarin, mengingatkan saya betapa amat rakusnya dunia politik, yang bahkan tanpa sedikitpun merasa berdosa ‘merampas’ satu-satunya ‘ruang kebebasan berpikir’ para supir truk yang memang tak banyak pilihan itu.

Masih jelas membayang di pelupuk mata keluguan awal para supir truk tersebut, tatkala kehidupan yang melelahkan memberi mereka ‘surga pengalihan’melalui  logika sederhana tentang wanita idaman, misalnya, dalam bentuk gambar dan pose wanita cantik setengah bersimpuh yang mereka beri tag, ‘Gadis Jujur,’ sebelum mereka ganti secara berkala dengan tag yang lebih keren menurut keyakinan berwanita mereka: Gadis Setia. Dara Setia, hingga akhirnya melahirkan pedangdut ngebor kelas nasional Inul Daratista, buah kegagapan intelektual mereka menyebut cepat ‘Inul Dara Setia’.

Masih dengan keluguan yang sama mereka sematkan lagi banyak kalimat yang ngeri-ngeri syahdu, seperti:

“Beratnya rindumu, tak seberat muatanku,”

Atau,

“Cintamu tak semurni bensinku,”

Serta masih banyak lagi deretan kalimat keren bernuansa sederhana yang bisa kita nikmati dengan hanya nongkrong dipinggir Pantura sambil menghirup satu-dua teguk kopi, sambil diam-diam menghembuskan kepulan berbentuk lingkaran dari tembakau entah apa dan berharap semua beban jiwa musnah seiring membumbungnya asap pembunuh tersebut.

Tapi itu semuanya terjadi kemarin. Sehelai waktu yang entah mengapa tiba-tiba menjadi amat basi. Terutama setelah Rabu yang haru membawa pilu membacai lagi deret demi rentet buah lidah Mbak Titiek yang amat melecehkan itu, yang mencoba menganasir sindiran-sindiran angkuh para supir truk terhadap kerasnya hidup menjadi hanya sebagai tafsir tunggal percaturan politik pencitraan.

Senyeleneh-nyelenehnya Mbak Megawati Sukarno Putri, saya belum pernah ‘memergoki’ beliau berusaha menghormati bapaknya, melalui kata juga gambar yang dicomot dari sumber asal, sehebat dan semutiara apapun kata dan gambar tersebut!

Sementara hari ini kita (lagi-lagi) dipaksa untuk menghormati bapak seseorang –yang kebetulan adalah mantan presiden paling lama di negeri ini- dengan kalimat yang dicungkil dari begitu banyak deret kesenian berbasis sinisme tingkat dewa. Merubah kalimat yang awalnya berbentuk sindiran menjadi fakta (yang katanya) menggambarkan keadaan paling up to date hari ini. Meminggirkan makna kata di keranjang kalimat yang sama tentang betapa kerinduan terberat dari sosok tersayangpun tak pernah bisa mengalahkan beratnya muatan pada truk (dan beban kesukaran hidup) mereka.

Atau betapa amat tak berartinya cinta, ketika berhadapan dengan ‘cinta di persinggahan rute jalanan’, yang beberapa tahun kemudian diadopsi oleh para eksekutif dengan slogan yang lebih keren: Sex after lunch. Juga logika sederhana yang bermuara dari betapa amat membosankannya kehidupan, yang terus saja habis di jalanan laiknya penjudi yang selalu kalah di meja pertaruhan, menyisakan kesimpulan liar sebagai penghibur bahwa tetap ada sepotong ‘desah’ yang dengan amat setia menanti kepulangan mereka. Walaupun hanya sepenggal desah, yang itupun cukuplah sudah membayar semua ngilu juga penat perjalanan. “Mencari nafkah, demi memburu desah.” Sebuah harga yang dirasa cukup pantas dan menggairahkan bagi mereka yang memang seringkali tak lagi paham tentang apa sebenarnya hidup yang selalu dipenuhi hiruk-pikuk ini.

Saya khawatir, setelah hari ini, kita kembali dipaksa untuk menghormati presiden, dengan cara yang paling brutal tersebut. Barangkali dengan mengutif kalimat bau dari tangki tinja seperti yang tertera pada gambar di tulisan ini, yang awalnya hanya sebagai humor sarkas tentang hidup dan cara memenuhi tuntutan hidup, yang akankah kemudian berubah tafsir makna menjadi amat sakti, terutama bagi generasi yang memang tengah berpusing di era informasi ini, yang memaknai semuanya hanya melalui dua pendekatan yang paling hakiki: Mulut dan bokong.

“Rejekiku soko silitmu”

Semoga Tuhan melindungi kita semua dari semua itu, aamiin.

Secangkir Kopi Supir Truk, May-22-015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun