Mohon tunggu...
Ahmad zaenal abidin
Ahmad zaenal abidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penjahit kata

Seorang penyulam yang percaya bahwa jahitan kata bisa merubah dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paprika dan Bumbu Kehidupan

27 September 2021   19:34 Diperbarui: 27 September 2021   19:55 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang besan calon mertuaku berhasil meyakinkan sebuah persepsi baru tentangku.

"Saya tahu dia, dulu pernah mondok dengan keponakan saya, nikahkan saja besan, saya jamin dia gak akan macam-macam."
Begitu kira-kira pesan beliau kepada kedua calon mertuaku saat itu.

Sebuah jaminan dari orang yang tak kukenal saat itu.
Cerita ini baru kudengar setelah kami menikah enam tahun lamanya. Aku sangat berhutang budi pada beliau.

Aku ingat saat itu, beberapa hari sebelum aku melangsungkan pernikahan, ibu memanggilku ke dalam kamar.

"Nak, berjanjilah pada ibu, kamu akan setia pada satu istri, seberat apa pun tantanganmu kelak, jangan kamu sakiti istrimu, karena itu akan melukai ibu."

Ibu tak melanjutkan lagi pesannya saat itu, bulir airmata mulai menetes di pipinya yang lembut. Aku bisa merasakan luka ibu yang dalam. Sebuah perceraian yang bermula dari poligami yang dilakukan ayah.

Aku memeluk ibu dengan erat seraya berjanji,
"Aku janji akan setia, Bu. Cukup sampai di sini luka ibu, aku akan jadi suami yang setia, aku janji."

Aku teringat saat sebelum itu, dalam usiaku yang masih belasan, aku kerap terlibat debat sengit dengan ayah. tak jarang perdebatan kami berakhir keributan, aku kerap kali melempar benda apa pun di depan ayah.
Tapi ayah tak pernah sekalipun membalas kelakuanku.

Hingga suatu waktu, dalam sebuah perdebatan ayah pernah berkata padaku.

"Nak, tentu saja ayah punya alasan kenapa berpoligami, entah  kelak kau akan terima atau tidak alasan ayah, yang pasti ayah tidak bisa utarakan itu sekarang, kau sendiri akan tahu alasannya nanti setelah kau menikah, maafkan ayah nak, bukan saat ini waktunya." Ucap ayahku dengan lirih, sambil menitikkan airmata, gerak tubuhnya berusaha memberi pelukan. Sebuah pelukan yang kutolak saat itu.

Setelah aku menikah dan dikaruniai dua anak, ayahku telah menikah lagi dan memiliki anak dari pernikahannya. Ayah mulai sakit-sakitan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun