Bimbingan Besama: Kepedulian Kolektif Masih Jadi Identitas Akademik?
Oleh: A. Rusdiana
Perkuliahan semester ganjil tahun akademik 2025/2026 dimulai pada 1 September hingga 19 Desember 2025. Di tingkat S1, penulis mengajar Metode Penelitian; di tingkat S2, mengampu Manajemen Sumber Daya Pendidikan serta Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Dalam aktivitas perkuliahan, dosen dan mahasiswa sering menekankan inovasi dan produktivitas. Namun, ada nilai yang lebih mendasar dan sering terlupakan: kepedulian kolektif---roh yang membuat pengetahuan memiliki makna sosial. Teori Etienne Wenger tentang community of practice menjelaskan bahwa pembelajaran terjadi paling efektif saat individu berbagi praktik dan nilai dalam komunitas. Sementara Vygotsky melalui social learning theory menegaskan pentingnya interaksi sosial dalam membentuk kemampuan berpikir. Dari sisi psikologi kerja, teori Job Demand--Resources (JD-R) (Bakker & Demerouti) menunjukkan bahwa keseimbangan antara tuntutan akademik dan dukungan sosial akan memperkuat work engagement dosen dan mahasiswa. Ketiganya menegaskan hal yang sama: kepedulian kolektif bukan sekadar sikap, tetapi identitas sosial yang memperkuat semangat belajar bersama.
Sayangnya, masih tampak gap dalam dunia pendidikan tinggi kita kolaborasi lintas disiplin lemah, komunikasi antardosen dan mahasiswa kurang cair, dan semangat berbagi sering kalah oleh orientasi individualistik. Padahal, kata pepatah, "Jika suatu pekerjaan dilakukan bukan oleh ahlinya, tunggulah kehancurannya." Begitu pula, jika ilmu dilakukan tanpa kepedulian, tunggulah kehilangan maknanya.
Tulisan ini bertujuan menggugah kesadaran akademik: bahwa kepedulian kolektif adalah identitas sejati komunitas pengetahuan, yang menentukan arah pendidikan menuju Indonesia Emas 2045. Berikut lima pilar pembelajarannya. Berikut Lima Pilar Pembelajaran dari Kepedulian Kolektif sebagai Identitas Komunitas:
Pertama: Komunitas sebagai Ruang Kepedulian; Kepedulian tidak tumbuh dari teori, melainkan dari interaksi. Komunitas "Pena Berkarya Bersama (PBB)", misalnya, menjadi bukti bahwa literasi bisa menjadi sarana membangun kesadaran sosial. Belum genap tiga minggu sejak berdiri pada 16 September 2025, anggota PBB telah mencapai 673 orang---menunjukkan bahwa menulis dapat menyatukan energi sosial dan intelektual. Menulis bersama berarti berpikir bersama demi kemaslahatan bersama.
Kedua: Kolaborasi sebagai Praktik Belajar Sosial; Mengacu pada teori social learning Vygotsky, mahasiswa belajar lebih efektif ketika didorong untuk berkolaborasi, bukan berkompetisi. Dosen tidak hanya menjadi pengajar, tetapi mentor reflektif yang menumbuhkan dialog dan tanggung jawab bersama. Tugas-tugas riset, observasi lapangan, dan proyek sosial dapat menjadi laboratorium empati bila dirancang berbasis komunitas.
Ketiga: Branding Akademik melalui Empati; Dalam era digital, reputasi akademik tidak dibangun hanya dari publikasi, melainkan juga dari jejak sosial. Ketika dosen dan mahasiswa menunjukkan kepedulian membimbing, berbagi, dan menulis untuk publik---mereka membangun brand of care. Inilah bentuk soft skill global yang dibutuhkan dunia kerja: kemampuan berkolaborasi lintas budaya, berempati, dan memecahkan masalah bersama.
Keempat: Kepedulian sebagai Daya Tahan Akademik; Menurut model JD-R, keseimbangan antara beban kerja (job demand) dan dukungan sosial (job resources) meningkatkan engagement. Komunitas akademik yang saling peduli akan lebih tangguh menghadapi tekanan administratif, target publikasi, atau disrupsi digital. Kepedulian menciptakan lingkungan yang aman bagi tumbuhnya kreativitas dan semangat belajar seumur hidup.
Kelima: Literasi sebagai Gerakan Kepedulian; Menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan ekspresi sosial. Gerakan literasi seperti PBB dapat menjadi wadah co-creation ide dan nilai. Tulisan reflektif mahasiswa atau dosen di Kompasiana, misalnya, bisa mengubah paradigma publik tentang pendidikan yang humanis dan inklusif. Dari sini, literasi bertransformasi menjadi gerakan kepedulian kolektif---identitas baru akademisi Indonesia yang berjiwa sosial.