Lima Pilar: Keras Berusaha, Ikhlas Menerima
Hidup manusia adalah rangkaian perjalanan antara usaha dan penerimaan. Kita berlari mengejar mimpi, bekerja menembus batas, dan berharap setiap keringat berbuah manis. Namun, tak jarang hasil yang datang tidak sesuai harapan. Ada yang gagal meski telah berusaha keras, ada yang justru mendapat rezeki tanpa diduga. Di sinilah keseimbangan hidup diuji: bekerja sekuat tenaga, tetapi tetap ikhlas menerima apapun yang Allah, atau dalam bahasa universal, Tuhan Semesta, takdirkan untuk kita. Prinsip ini bukan hanya nilai keagamaan, melainkan kearifan hidup yang bisa diterima oleh semua manusia. Saya menyebutnya sebagai lima pilar "Keras Berusaha, Ikhlas Menerima", yang dapat menjadi panduan kita menapaki kehidupan, baik sebagai pribadi, masyarakat, maupun bangsa. Mari kita elaborasi satu-persatu:
Pertama; Tekad yang Bulat: Azam dalam Setiap Keputusan; Setiap langkah besar selalu diawali dengan keputusan yang jelas. Tekad yang bulat menjadi bahan bakar utama bagi seseorang untuk bergerak maju. Tanpa tekad, usaha hanya setengah hati. Dalam Islam, ini dikenal sebagai 'azm---keteguhan hati setelah mempertimbangkan segala hal. Dalam kehidupan modern, kita bisa melihat betapa tekad menjadi faktor penting. Seorang mahasiswa yang bertekad lulus tepat waktu akan menyusun strategi belajar. Seorang pemimpin yang bertekad memperbaiki lembaga, akan menolak segala bentuk gratifikasi demi menjaga marwah institusi. Tekad bukan hanya niat, melainkan keberanian untuk memutuskan dan menjalani.
Kedua: Tawakal yang Mendalam: Menyerahkan Hasil; Setelah tekad bulat dan usaha maksimal, ada ruang yang tak bisa kita kuasai: hasil akhir. Di sinilah manusia belajar menyerah, bukan pada keadaan, melainkan kepada Tuhan. Dalam bahasa universal, ini disebut trust the process. Sering kita temui orang yang bekerja keras tetapi gagal, atau sebaliknya, orang yang mendapat keberuntungan di luar dugaan. Tawakal membuat hati tenang menerima kenyataan. Bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan sikap lapang dada setelah semua daya sudah dicurahkan. Inilah rahasia ketenangan batin: yakin bahwa Tuhan tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
Ketiga: Ikhtiar yang Nyata: Hasil Sejalan dengan Usaha; Hidup ini tunduk pada hukum sebab-akibat. Tidak ada hasil tanpa usaha. Prinsip ini universal: what you sow is what you reap---apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.
Bekerja keras, belajar sungguh-sungguh, membangun jejaring, semua adalah bentuk ikhtiar nyata. Bahkan dalam ajaran agama, doa saja tidak cukup tanpa tindakan. Seorang pelajar tidak bisa berharap nilai bagus tanpa belajar. Seorang petani tidak bisa berharap panen jika tidak menanam.
Ikhtiar nyata inilah yang membuat manusia terhormat. Bukan karena hasil instan, melainkan karena proses panjang yang penuh jerih payah.
Keempat: Kesadaran Hakikat Rezeki: Hadiah dan Pemberian; Kita sering menerima hadiah, penghargaan, atau apresiasi. Dari sisi syariat, itu datang melalui manusia. Namun dari sisi hakikat, semua itu adalah karunia Tuhan. Kesadaran ini melahirkan kerendahan hati. Ambil contoh seorang dosen yang diberi bingkisan oleh mahasiswanya. Jika hatinya jernih, ia akan melihat bingkisan itu bukan sekadar hadiah, melainkan rezeki yang Allah titipkan melalui perantara manusia. Dengan kesadaran ini, kita tidak akan serakah, tidak pula menolak kebaikan dengan buruk sangka. Hakikat rezeki adalah dari Allah. Maka menerima dengan ikhlas bukan berarti pasif, melainkan mengakui sumber sejati dari segala nikmat.
Kelima: Perubahan dari Diri Sendiri: Integritas sebagai Kunci; Pilar terakhir adalah kesadaran bahwa perubahan besar dimulai dari diri sendiri. Sebuah bangsa tidak akan maju jika warganya masih malas, korup, dan tidak jujur. Sebuah lembaga pendidikan tidak akan bermartabat jika dosennya masih mudah tergoda gratifikasi.
Integritas pribadi adalah pondasi perubahan. Kita tidak bisa hanya menuntut orang lain berubah, sementara diri sendiri masih abai. Seperti pepatah: be the change you want to see in the world.