Karakter Pancawaluya dan Kontrak Belajar: Meneguhkan Komitmen Moral di Hari Pertama Sekolah
Oleh: A. Rusdiana
Tanggal 14 Juli menandai awal tahun ajaran baru. Di banyak sekolah, masa pengenalan budaya lembaga tidak lagi diisi dengan kegiatan simbolik belaka, tapi juga menjadi gerbang pendidikan karakter yang humanis. Melalui pendekatan sekolah ramah, sesi ini memperkenalkan Pendidikan Karakter Pancawaluya dan Kontrak Belajar sebagai landasan etika bersama antara murid, guru, dan komunitas sekolah. Karakter Panca Waluya adalah lima nilai utama yang menjadi dasar pendidikan karakter di Jawa Barat, yaitu Cageur (sehat), Bageur (baik), Bener (jujur), Pinter (cerdas), dan Singer (kreatif). Kontrak belajar adalah kesepakatan antara siswa dan sekolah mengenai tujuan, aturan, dan tanggung jawab selama proses pembelajaran, termasuk dalam konteks Panca Waluya.
Materi ini merujuk pada ajaran Imam Al-Ghazali, yang menyatakan bahwa hak guru atas muridnya lebih agung dari hak orang tua, karena guru memandu kehidupan spiritual dan intelektual seorang anak. Di sisi lain, menurut teori readiness dari Thorndike, kesiapan belajar merupakan prasyarat penting agar peserta didik mampu merespons tugas-tugas pembelajaran secara positif dan konstruktif. Maka, penyusunan kontrak belajar bukan sekadar aturan teknis, tapi ikhtiar membangun kesiapan moral dan tanggung jawab kolektif. Namun, sebagian masyarakat masih memandang pendidikan karakter hanya sebatas hafalan nilai Pancasila tanpa penginternalisasian dalam budaya sekolah. Ketika murid hanya "patuh karena takut", maka etika belum tumbuh. Kontrak belajar dan dialog nilai Pancawaluya menutup celah ini.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan pentingnya Pendidikan Karakter Pancawaluya dan Kontrak Belajar dalam menyongsong Kurikulum Cinta, Deep Learning, dan Gapura Panca Waluya, sekaligus memperkuat kesiapan generasi muda menghadapi era 5.0 dan Indonesia Emas 2045. Berikut 5 Nilai Edukasi dari Materi Pendidikan Karakter Pancawaluya dan Kontrak Belajar:
Pertama: Dialog Waluya Jiwa: Komitmen Moral sebagai Kesepakatan Bersama: Sesi diawali dengan Kepala Sekolah dan Wakasek Kesiswaan memfasilitasi percakapan terbuka tentang nilai-nilai Pancawaluya, khususnya Waluya Jiwa nilai batin yang menumbuhkan niat baik, kemurnian, dan tanggung jawab. Murid tidak sekadar menerima aturan, tetapi diajak menyusun kontrak belajar yang mencerminkan kesepakatan etis. Di sinilah moralitas mulai tumbuh bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran akan tanggung jawab sebagai pelajar yang merdeka.
Kedua: Membangun Kesiapan melalui Kontrak Belajar Kolaboratif; Alih-alih memaksakan aturan sepihak, kontrak belajar di hari pertama dirancang melalui musyawarah antarmurid dan guru. Kegiatan ini meningkatkan rasa kepemilikan terhadap proses belajar. Murid tidak hanya tahu apa yang boleh dan tidak boleh, tetapi memahami kenapa aturan itu dibutuhkan dan bagaimana dampaknya bagi komunitas kelas. Kesiapan belajar pun tumbuh seiring kesadaran kolektif dan emosi positif terhadap ruang belajar.
Ketiga: Etika Tumbuh dari Relasi yang Setara; Materi ini menolak relasi otoriter. Guru bukan sosok yang ditakuti, melainkan mitra belajar yang membuka dialog, memberi teladan, dan membangun keterbukaan. Melalui Waluya Rasa---nilai yang berakar pada kasih sayang, empati, dan saling menghormati---relasi antar warga sekolah menjadi lebih manusiawi. Pendidikan karakter menjadi nyata saat murid merasa dihargai dan dipercaya.
Keempat: Internalisasi Nilai Lewat Refleksi Harian; Setelah kontrak disusun, setiap akhir hari ditutup dengan sesi refleksi singkat. Murid diajak mengevaluasi, apakah komitmen yang mereka rumuskan telah dijalankan. Ini adalah latihan etika mikro yang melatih disiplin moral, empati sosial, dan tanggung jawab individu. Ketika refleksi dilakukan secara konsisten, kontrak belajar tidak menjadi dokumen mati, tetapi nafas kehidupan belajar.
Kelima: Menyiapkan Generasi Berkarakter untuk Indonesia Emas 2045; Dalam konteks jangka panjang, pendekatan ini mempersiapkan murid menjadi warga negara yang berintegritas. Mereka terbiasa berdialog, menyepakati nilai, dan menepati komitmen. Ini adalah fondasi penting menghadapi tantangan era digital, disrupsi teknologi, dan dinamika globalisasi. Karakter tidak dibentuk dalam sehari, tapi dirawat sejak hari pertama sekolah dimulai.