Mohon tunggu...
Ahmad Abni
Ahmad Abni Mohon Tunggu... Guru - Manusia akan mencapai esensi kemanusiaannya jika sudah mampu mengenal diri melalui sikap kasih sayang

Compasionate (mengajar PPKn di MTsN Bantaeng)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bencana Katalismik dan Pilkada Serentak

23 Desember 2020   07:09 Diperbarui: 23 Desember 2020   07:15 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itji juga mengkritik beberapa perempuan yang enggan di calonkan oleh partai politik padahal punya kapabilitas yang mumpuni. Keengganan tersebut juga menjadi pemicu dan menjadi andil rendahnya keterlibatan perempuan dalam kontekstasi politik lokal. Dalam hal ini elit politik dan parpol tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena fungsi kaderisasi partai politik telah dijalankan namun amanah partai belum direspon baik oleh kadernya dari kalangan perempuan.

Melalui tulisannya, Itji juga menjawab pertanyaan yang mungkin ada disetiap benak para laki-laki dan kaum perempuan itu sendiri bahwa apa urgensi keterlibatan perempuan dalam kontekstasi pilkada ?. Itji berargumen bahwa keberadaan perempuan dalam pilkada bukan semata karena perebutan kursi pimpinan daerah semata, melainkan itu adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan subordinasi menuju terbangunnya kesetaraan gender di semua lini kehidupan. Dari itu, kaum laki-laki tidak boleh lagi memandang sebelah mata kaum perempuan.

Itji juga menyadari bahwa posisi perempuan dalam konteks politik, membutuhkan waktu untuk berproses, menyusun kekuatan untuk melakukan penyadaran kembali bahwasanya calon laki-laki bukanlah jaminan menjadi pemimpin yang baik, begitu pula sebaliknya calon perempuan bisa jadi lebih baik dari calon laki-laki, sebagaimana telah dibuktikan oleh walikota Surabaya -- Tri Rismayani. Motivasi lain dari tulisannya adalah perempuan harus berbenah diri, harus menunjukkan karya nyata dan meningkatkan prestasi dibidangnya masing-masing, sehingga secara alamiah paradigma patriarki itu tumbang.

Namun perlu kiranya dipertegas sampai dimana batasan kepemimpinan perempuan itu. Jangan sampai yang tercapai adalah kesetaraan yang kebablasan yang membawa bencana katalismik dalam kancah politik lokal dan nasional sebagaimana bencana katalismik yang pernah terjadi pada abad pertengahan dimana laki-lakilah yang mengerjakan pekerjaan perempuan dan perempuan mengerjakan pekerjaan laki-laki. Laki-laki semakin terkungkung dan ingin bebas dari dari ikatan itu sehingga laki-lakipun melakukan perlawanan fisik yang memang kodratnya lebih kuat dibandingkan dengan perempuan.

Paling tidak ada tiga gejala yang perlu diantisipasi sebelum munculnya bencana katalismik ini. Pertama; Keterlibatan perempuan dalam kancah politik jangan sampai hanya sebagai subsitusi kesibukan untuk menghindarkan diri dari tugas domestiknya sehingga kadang kala peran-peran domestik itu dimandatkan kepada pembantu rumah tangga dan atau babysister. 

Kedua; Keterlibatan perempuan dalam politik jangan sampai sebatas pemenuhan tuntutan regulasi affiermative action bagi partai politik peserta pemilu sehingga terbangun citra bahwa kontekstasi terlaksana lebih demokratis sekaligus untuk menghindari stigma dalam kaca mata pergaulan internasional. Kepesertaan perempuan dalam politik dicurigai hanya sebatas syarat pelengkap sehingga konsekuensinya selama ini tingkat keterpilihan perempuan masih sangat rendah bahkan menurun. 

Berdasarkan penelusuran Kompas.com, jumlah caleg perempuan terpilih pada periode 2015-2019 hanya sebanyak 97 orang atau setara 17,32 persen sementara pada periode sebelumnya 2009-2014 angka caleg perempuan sampai 101 orang atau setara 18,03 persen dari 560 kursi DPR. Dalam pilkada serentak tahun 2020 tingkat keterpilihan calon perempuan  juga sangat minim.

Ketiga; kebencian permanen kaum perempuan atau pejuang gender terhadap laki-laki karena terpapar paham feminisme radikal. Secara historis paham ini pernah muncul pada tahun 1960-an di dunia Barat sebagai reaksi atas struktur sosial yang cenderung patriarki dimana perempuan selalu menjadi obyek kekerasan dan penindasan oleh kaum laki-laki dan selalu saja laki-laki dipandang sebagai "pemorkosa" atas perempuan.

Pada akhirnya, jangan sampai bencana katalismik yang pernah terjadi di abad pertengahan tersebut kembali muncul di era millenium ini dengan wajah baru pula. Sifat kedaerahan gender laki-laki dan gender perempuan berbeda sangat jauh. Yang sama adalah fakta bahwa ada keterkaitan timbal balik yang sifatnya komplementer, saling melengkapi antara keberadaan laki-laki dan perempuan. 

Laki-laki dan perempuan tidak bisa ditempatkan pada oposisi biner yang memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang berkompetisi sehingga yang lain menang dan yang lain lagi kalah. Menempatkan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan pada oposisi biner saling berhadap-hadapan akan melahirkan konstruksi hubungan yang tidak simetris.

Laki-laki dan perempuan punya hak yang sama dalam politik, olehnya itu berikan hak itu dan gunakan hak itu dengan selayaknya. Persoalan siapa yang memimpin adalah kehendak rakyat yang memilih sesuai dengan kapabilitas dan kompetensinya. Hanya saja perlu kehati-hatian dalam menempatkan peran laki-laki dan perempuan dalam politik karena jangan sampai kita tejebak dalam "bencana katalismik".

Wallahu a'lam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun