Oleh; A. Jen Wasolo
Dalam catatan sebelumnya Saya mencoba merefleksikan bagaimana kita dapat memanfaatkan pekarangan sebagai rujukan untuk bagaimana kita menjawab segala kebutuhan dapur, dan dapur yang dimaksudkan adalah suatu sentrum untuk memenuhi kebutuhan dibidang pangan.Â
Sedangkan dalam catatan Kedua ini, Saya namai Jangan biarkan kami terasing Part II (Sagu;antara kesejahteraan dan keterasingan Pangan). Saya akan mencoba menelaah lebih jauh bagaimana era kontemporer memaknai Sagu sebagai Pangan, atau bahkan lebih dari itu.
Sagu atau dengan nama Lain disebutkan sebagai metroxylo sp. Jika bergeser sedikit ke era-kontemporer, kita akan mendapatkan berbagai kejanggalan defenisi yang tidak seperti biasanya, Bahkan pemerintah sebagai sentrum pemangku kepetingan menompang dan mendorong agar semua cepat pada tahap yang dimaknai sebagai "kesejahteraan"
Sagu sebagai pangan awal, Setelah indonesia merdeka kampanye penanaman padi lebih masif. Pemerintah setempat mewajibkan setiap anak muda yang akan menikah agar menanam padi lebih dahulu.Â
Pada 1970-an, pemerintah merancang "pengentasan warga pedalaman dari kemiskinan" dengan memaksa warga Dari Gunung pindah ke pesisir. Dan komsumsi beras jadi indikator sukses atau tidaknya program ini.
Sehingga mengantarkan atau membentuk pola kehidupan orang-orang yang sebelumnya menanam kepada orang-orang yang lebih suka memanen (tunggu bantuan dari Pemerintah), seperti yang diungkapkan salah satu masyarakat Papua, "Kebanyakan orang lebih berdiam diri didalam rumah atau mereka lebih suka menunggu bantuan makanan ketimbang mencari ikan dan sagu (Heri Ola)".
SAGU DALAM STIGMA KONTEMPORER
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Menyebutkan bahwa Kesejahteraan adalah keadaan dimana seseorang merasa Aman, damai. Dan titik kesejahteraan itu ada pada apakah kita nyaman melakukannya ataukah tidak.Â
Sama halnya dengan sesuatu yang baru hadir dan menggantikannya yang lama dengan catatan bahwa membelenggu dan serta membentuk sifat ketergantungan kelompok maupun perorangan terhadap sesuatu yang dimaksud, berarti ada penitipan kekeliruan didalamnya.
Riset antropolog dari Universitas Leiden, Gerard Persoon (1998), upaya mengubah pola makan masyarakat Siberut menanam padi. Alasan Borger, sagu jadi simbol kamasalan dan kemandekan. Lantas mengampanyekan bercocok tanam padi sebagai simbol kamajuan dan pembangunan.
Sedangkan menurut Ardreas Maryoto, dalam bukunya Jejak Pangan, menyebutkan bahwa Nenek-Moyang kita adalah petani Padi. hal ini didasarkan pada peneliti JC Anceaux dalam buku yang sama mengutip penilitian Hendrik Kern asal Belanda, menyebutkan bahwa kosakata yang terkait dengan padi ditemukan penutur dibagian barat Austronesia-asal nenek moyang bangsa Melayu-, namun tidak ditemukan diwilayah timur.Â