Piagam Pelat Kuningan Kandangsapi Gede
Keberadaan Purwakarta tidak terlepas dari sejarah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang serta perjuangan Sultan Agung Hanyokrokusumo (), (masa hidup 1593-1645, masa berkuasa 1613-1645) dari Kesultanan Mataram Islam melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia di bawah pimpinan Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal) Jan Pieterszoon Coen.
Pada tahun 1628, Sultan Agung Hanyokrokusumo mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Bahurekso dibantu oleh Adipati Ukur, Kyai Ronggo, Tumenggung Manduro Rejo dan Tumenggung Uposonto. Adipati Ukur juga dibantu oleh 9 (sembilan) orang umbul.
Pada tahun 1629, Sultan Agung Hanyokrokusumo mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, Kyai Adipati (Pangeran) Purboyo dan Kyai Adipati (Pangeran) Puger dibantu oleh Kyai Adipati Sumenep, Tumenggung Singoranu, Tumenggung Madiun, Raden Ario Wironotopodo, Adipati Ukur dan Warga.
Kedua serangan besar-besaran dari darat dan laut ini kemudian tidak berhasil mengusir VOC dari Batavia, namun Jan Pieterszoon Coen kemudian dinyatakan tewas. Versi Mataram menyatakan, bahwa Ia tewas karena dibunuh dengan sebilah keris oleh salah seorang anggota telik sandi lasykar pasukan Mataram, kemudian kepalanya ditebas dan dibawa serta kemudian dikuburkan di salah satu trap tangga menuju ke pemakam kesultanan di Imogiri. Versi VOC mengatakan, bahwa Ia tewas karena penyakit kolera yang melanda Batavia pada saat itu akibat dibendungnya Sungai Ciliwung dan dicemari dengan kotoran manusia dari pasukan Mataram.
Untuk menghambat perluasan wilayah kekuasaan Kompeni (VOC), Sultan Agung mengutus Bupati Galuh (Ciamis), R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda (Adipati Kertabumi III), agar segera memasuki, menduduki dan menguasai daerah Rangkas Sumedang (sebelah Timur Sungai Citarum). Daerah ini dimaksudkan sebagi Siti Negara Gung Bongas Kilen dengan membangun benteng-benteng pertahanan di daerah Adiarsa, Kutatandingan, Parakansapi, Rangkas Sumedang, Tanjungpura, Teluk Jambe dan Tunggak Jati agar terdapat daerah penyangga (demarkasi, buffer) antara kekuasaan VOC dengan Kesultanan Mataram. Setelah mendirikan benteng-benteng tersebut Adipati Panatayuda (Adipati Kertabumi III) kemudian kembali ke Galuh hingga wafatnya. Karawang dinamakan demikian mungkin karena kondisi daerahnya berawa-rawa. Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh para bupati keturunan dari Adipati Panatayuda (Adipati Kertabumi III) dan keturunan bupati-bupati Bogor.
Pada masa itu rupanya telah menjadi suatu kebiasaan, bahwa dalam hal bersurat, Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo, tidak menggunakan secarik kertas surat atau lembaran perkamen kulit hewan ternak (sapi, kerbau atau kambing) melainkan lembaran (pelat) kuningan. Secara logika dapat diterima karena ini kemungkinan untuk menghindari dari kerusakaan karena faktor cuaca alam, fisika, kimia biologi dan lain-lain.
Piagam Pelat Kuningan Kandangsapi Gede adalah suatu piagam dari raja Mataram (Sultan Agung Hanyokrokusumo) untuk Pangeran Rangga Gede dari Sumedang. Jan Laurens Andries Brandes menulis sebagai berikut:
"Pelat-pelat yang dimaksud adalah milik penduduk asli di desa Kandang Sapi, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang. Pemiliknya tidak ingin menyumbangkannya, hanya menyerahkan sementara waktu kepada Heer Fokko Fokkens, Controlleur 1ste Klasse (Pengendali/Pengawas Kelas 1).
Dia mengizinkan saya menerimanya. Heer Fokko Fokkens mengungkapkan harapan, bahwa mereka akan membawakan sesuatu yang menarik. Bahwa dia tidak sepenuhnya keliru dalam ekspektasinya, membuktikan, saya harap, berikut ini.
Pelat yang terbuat dari tembaga ini semuanya memiliki desain yang sama lebarnya, namun panjangnya berbeda yaitu 8,5 cm; 21,8 cm dan 29,5 cm, dengan lebar 7 cm.
Dua yang terpanjang (21,8 cm dan 29,5 cm, Pen.) mempunyai legenda yang sama dengan perbedaan ini itu yang terbesar, yang menurut saya merupakan salinannya yang lain sesuai, satu frase lagi di akhir ditemukan dan beberapa varian dapat diidentifikasi. Hal ini akan dijelaskan di bawah ini. Sebagian bagi saya tampaknya mereka lahir dari ketidakterbacaan yang cukup besar dari pelat salinan yang tulisannya sangat bagus, sehingga mungkin membuat mesin fotokopi lebih banyak kesulitan lalu membantu saya yang sudah bisa membaca legendanya karena salinannya jauh lebih jelas."
Berikut ini transliterasi lengkap atas naskah aslinya dalam bahasa Jawa yang berbunyi sebagai berikut:
"Penget ingkang piagem Ka(ng)djeng ing Ki Rangga Gede ing Soemedang kagadehaken ing Si Astrawadana. Milane soen gadehi piagem, soen kongkon angraksa kagengan Dalem siti nagara-goeng, kilen wates Tjipami(ng)kis, wetan wates Tjilamaja, sirta soen kon anoenggoni loemboeng, isinipoen pari limang takes poe(n)djoel tiga welas djait. Wondening pari sinamboet dening Ki Singapra(ba)sa. Basa kala tan angrawahi piagem, lagi lampahipoen Ki Joedabangsa, kaping kalih Ki Wangsataroena. Ingkang potoesan Ka(ng)dje(ng) Dalem ambakta tata titijang kalih ewoe; Wadananipoen Ki Singaprabangsa, kalih Ki Wirasaba, kang dipoen wadanakaken ing manira.Â
Sasangpoen katampi dipoen prenahaken ing Waringinpitoe lan ing Ta(n)djoe(ng)poera. Angraksa siti goeng boengas kilen. Kala noelis piagem ing dina Rebo tanggal ping sapoeloeh, sasi Moeloed taoen Alip. Kang anoelis piagem manira Anggaprana. ti. ti. I segi patoen, kang dipoen oetang ini loekoenkang ..."