Perilaku 'Toxic' Gaslighting: Menolak Mengabaikan Pendapat dan Perasaan Korban: Menghabat Talenta Muda dalam Menyonsong Era Demografi 2030
Oleh: Ahmad Rusdiana
Indonesia sedang bersiap memasuki era bonus demografi pada tahun 2030, ketika populasi usia produktif akan mencapai puncaknya. Potensi besar ini bisa membawa manfaat signifikan bagi pembangunan nasional jika talenta muda dikelola dengan baik. Namun, berbagai perilaku 'toxic' seperti gaslighting dapat menjadi penghambat utama dalam perkembangan individu dan produktivitas generasi muda. Salah satu bentuk gaslighting adalah menolak mendengarkan pendapat dan perasaan korban, yang bisa merusak motivasi dan kepercayaan diri. Artikel ini akan membahas tiga aspek perilaku ini dan dampaknya terhadap peningkatan talenta muda di Indonesia dalam konteks bonus demografi. Yu kita breakdown satu persatu:
Pertama: Merendahkan dan Mengabaikan Pendapat Korban; Gaslighter seringkali merendahkan atau mengabaikan pendapat korban, menciptakan lingkungan yang tidak mendukung diskusi terbuka dan konstruktif. Bagi talenta muda, pengalaman ini dapat menghancurkan rasa percaya diri dan membuat mereka enggan untuk berbicara atau berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ketika pendapat mereka tidak dianggap penting, mereka mungkin merasa tidak berharga dan tidak memiliki kontribusi berarti, yang pada akhirnya menghambat inovasi dan kreativitas. Di era bonus demografi, penting bagi Indonesia untuk mendorong partisipasi aktif talenta muda dalam berbagai sektor. Ketika pendapat mereka didengar dan dihargai, mereka akan lebih termotivasi untuk berinovasi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan sosial.
Kedua: Mengabaikan Perasaan dan Kesejahteraan Emosional Korban; Gaslighting tidak hanya mempengaruhi aspek intelektual tetapi juga kesejahteraan emosional korban. Dengan menolak mengakui perasaan korban, gaslighter dapat membuat korban merasa terisolasi dan tidak didukung. Kondisi ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi, yang secara signifikan mengurangi produktivitas dan potensi individu. Talenta muda Indonesia perlu merasa didukung secara emosional agar bisa berkembang secara optimal. Dalam konteks bonus demografi, investasi dalam kesehatan mental dan emosional generasi muda akan berdampak besar pada produktivitas dan keberlanjutan pembangunan negara.
Ketiga: Menciptakan Lingkungan yang Tidak Aman dan Tidak Produktif; Menolak mendengarkan pendapat dan perasaan korban menciptakan lingkungan kerja atau belajar yang tidak aman dan tidak produktif. Ketika individu merasa bahwa suara mereka tidak didengar, mereka cenderung menjadi pasif dan tidak bersemangat. Hal ini dapat menciptakan budaya yang stagnan, di mana inovasi dan kemajuan terhambat oleh kurangnya komunikasi dan kolaborasi. Untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal, Indonesia harus memastikan bahwa tempat kerja dan institusi pendidikan mendukung komunikasi terbuka dan menghargai setiap suara. Lingkungan yang inklusif dan suportif akan memungkinkan talenta muda untuk berkembang, berkolaborasi, dan memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa.
Singkatnya, gaslighting, khususnya dalam bentuk menolak mengabaikan pendapat dan perasaan korban, memiliki dampak merusak yang signifikan pada perkembangan talenta muda. Di era bonus demografi, penting bagi Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi aktif, kesejahteraan emosional, dan keamanan psikologis bagi generasi muda. Dengan demikian, Indonesia bisa memastikan bahwa potensi produktivitas talenta muda dapat dioptimalkan, mendukung pertumbuhan dan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Penting bagi Indonesia untuk menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi aktif, kesejahteraan emosional, dan keamanan psikologis bagi generasi muda. Wallahu A'lam.