Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mahasiswa semester 07 prodi PIAUD fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo. Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pejabat Flexing vs Pejabat Kutu Buku: Antara Pamer Harta dan Pengayaan Intelektual

26 September 2025   22:46 Diperbarui: 26 September 2025   22:46 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/lovepik 

Fenomena pejabat publik yang lebih sering memamerkan harta benda mewah daripada memperkaya diri dengan pengetahuan dari buku kini menjadi sorotan publik. Di era media sosial, gaya hidup penuh kemewahan semakin mudah dipertontonkan, sementara kegiatan intelektual seperti membaca justru jarang terlihat. Kondisi ini tidak hanya memunculkan kritik, tetapi juga menyingkap persoalan mendasar dalam budaya pejabat di Indonesia.

Mengapa Pejabat Gemar Flexing?

  • Simbol Status dan Kekuasaan: Bagi sebagian pejabat, barang mewah seperti mobil, jam tangan, atau pakaian bermerek menjadi cara mudah untuk menunjukkan status sosial. Pamer kekayaan dianggap sebagai penegasan posisi mereka dalam lapisan masyarakat. Dengan cara ini, mereka bisa menciptakan jarak yang jelas antara dirinya dengan masyarakat biasa.
  • Sindrom "Orang Kaya Baru": Perilaku konsumtif juga banyak dikaitkan dengan sindrom orang kaya baru. Ketika status sosial naik dengan cepat, muncul dorongan untuk menunjukkan pencapaian itu lewat gaya hidup mencolok. Hal ini berbeda dengan keluarga yang sudah lama berada di kalangan elite, yang biasanya lebih memilih hidup tenang tanpa sorotan berlebihan.
  • Budaya Konsumerisme dan Media Sosial: Media sosial semakin memperkuat budaya flexing. Instagram, misalnya, menjadi panggung utama bagi pejabat dan keluarganya untuk memamerkan kehidupan glamor. Foto liburan ke luar negeri, pesta mewah, hingga koleksi barang branded menjadi konten yang mendatangkan atensi sekaligus pengakuan sosial.
  • Minimnya Keteladanan dan Etika Publik: Di tengah kesulitan ekonomi rakyat, gaya hidup mewah pejabat sering kali menyinggung rasa keadilan. Sayangnya, sebagian pejabat seolah abai terhadap etika publik yang menuntut kesederhanaan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara bisa terkikis.

Mengapa Membaca Buku Tidak Menarik Bagi Pejabat?

  • Literasi Tidak Bisa Dipamerkan Instan: Hasil dari membaca buku adalah pengetahuan, wawasan, dan cara berpikir yang lebih tajam. Sayangnya, semua itu tidak bisa ditunjukkan dengan cepat atau divisualisasikan secara menarik seperti foto liburan atau barang mewah. Hampir tidak pernah kita lihat pejabat yang bangga menunjukkan tumpukan buku yang sudah mereka baca.
  • Rendahnya Budaya Literasi Nasional: Minat baca di Indonesia memang masih rendah, dan hal ini juga berimbas pada kalangan pejabat. Kurangnya kebiasaan membaca membuat literasi di tingkat masyarakat ikut terhambat. Banyak kebijakan soal pendidikan dan literasi pun akhirnya tidak mendapat prioritas, karena pemangku kebijakan sendiri tidak memiliki kebiasaan membaca yang kuat.
  • Dampak Kurangnya Membaca bagi Kebijakan Publik: Pejabat yang jarang membaca akan kesulitan melahirkan kebijakan yang matang. Akibatnya, keputusan yang dibuat cenderung reaktif, dangkal, bahkan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Padahal, membaca adalah latihan penting untuk melatih daya analisis, memperluas wawasan, dan meningkatkan kualitas kepemimpinan.

Kesimpulan

Fenomena pejabat yang lebih suka memamerkan harta ketimbang memperkaya pikiran lewat membaca buku menunjukkan adanya pergeseran nilai. Simbol status sosial berupa barang mewah lebih dihargai ketimbang kemampuan intelektual. Ironisnya, gaya hidup flexing yang diperlihatkan pejabat justru berpotensi merusak kepercayaan publik sekaligus memperburuk kualitas kebijakan yang mereka hasilkan.

Di sisi lain, membaca membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Hasilnya memang tidak bisa langsung dipamerkan, tetapi justru lebih berharga karena dapat melahirkan gagasan dan keputusan yang bermanfaat bagi rakyat.

Oleh sebab itu, kritik publik terhadap budaya flexing ini sangat wajar. Sudah saatnya pejabat kembali meneladani kesederhanaan, mengutamakan integritas, serta menjadikan buku sebagai bagian penting dari perjalanan intelektual dan profesional mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun