Mohon tunggu...
Ahlan Mukhtari Soamole
Ahlan Mukhtari Soamole Mohon Tunggu... Ilmuwan - Menulis untuk menjadi manusia

Perjalanan hidup ibarat goresan tinta hitam yang mengaris di atas kertas maka jadilah penah dan kertas yang memberikan makna bagi kehidupan baik pada diri, sesama manusia dan semesta dan Ketekunan adalah modal keberhasilan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Negara "Sakit"

3 Mei 2020   02:17 Diperbarui: 3 Mei 2020   02:19 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh : Ahlan Mukhtari Muslim Soamole*

 

     Ketika demokrasi lesuh karena pendemi negara seolah statis, pemerintah memanfaatkan untuk meraup keuntungan, berbagai proyek dieksekusi dari kepentingan politik praktis menjadi jembatan upaya merampok sehingga negara kian 'lumpuh' dari keadilan dan kesejahteraan. Masa-masa pendemi virus masih saja menjadi celah bagi elit mencabik-cabik hak rakyat urgensi, elite tak lagi memiliki kemanusiaan padanya. Dan hanya menciptakan suatu dinamika korup, penumpukan modal sebesar-besarnya. Rakyat tak menerima kondisi Negara dihisap oleh pemodal atau korporasi dalam mendikte kebijakan pemerintah maka diketemukan seruan-seruan revolusi untuk menentang kebijakan elit tak berpihak pada rakyat, lebih daripada itu parlemen sebagai institusi perwakilan rakyat semakin terbuka melakukan pencitraan, bias politik pencitraan eksekutif  yang terhempas kepada legislatif, pembahasan politik di parlemen hanya pernyataan-pernyataan seremonial tak dapat dipercaya pada gilirannya praktis elit itu terdapat beragam kepentingan, distrust terhadap dewan rakyat sebab tak mampu menekan pemerintah akibat aspirasi rakyat tercerabut suara jeritan menghendaki adanya perubahan. Negara kian despotik tak lagi berpihak pada rakyat, kebijakan pemerintah sepenuhnya jauh dari keutamaan negara untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. Pemerintah terus-menerus 'kawin' dengan pasar kapitalisme sehingga kekuasaan negara tergadaikan di bawah cengkeraman pemodal, struktur pemerintahan tendensi feodalistik 'memenjarakan' teknokrat selalu eksploitatif menindas rakyat.

      Pendemi tak kejam ketimbang perilaku korup pemerintah begitu kejam tak sekedar merusak sistem melainkan pula merusak struktur negara menghendaki idealnya demokras berkeadilan. Negara 'sakit' akibat meluasnya 'virus' kepentingan elit negara mengutamakan kepentingan semata, cita-cita pembangunan bercorak eksploitatif selaras penguasaan oligark terhadap ekonomi maupun politik sehingga membentuk korporatokrasi sebuah praksis politik antara pemodal, bank, dan pemerintah secara terintegritasi kebijakan pasar mendikte regulasi Negara dapat merusak sendi demokrasi sginifikan. Sikon negara saat ini dialami memudahkan oligark untuk mengendalikan kekuasaannya dapat saja terjadi. Meskipun keberadaan kekayaan alam menjanjikan pemodal mengeksploitasinya , di perusahan-perusahan suara-suara rakyat diucapkan sebagai bentuk konfrontasi politik menindas. Pengharapan kesejahteraan hanyalah perkataan seremonial para elit yang membisukan rakyat dari pergolakan menuntut keadilan, negara sakit terjadi akibat membiarkan  negara cenderung destruktif karena kepentingan elit pemerintah.

     Kecamkukan negara mengarah pada pergulatan dapat saja terjadi, pergualatan intelektual hingga perilaku anarkis, kaum buruh bergulat dengan waktu kerja memeras tenaga serta ketimpangan upah dan kesejahteraan buruh. Hal serupa juga terhadap berbagai kemiskinan di tengah melanda penyakit virus mematikan, ketidakberdayaan rakyat merupakan kegagalan negara menciptakan keseimbangan ( balances ) hidup. Polarisasi elite akan menstimulus gerakan politik rakyat menyatu dalam kekuatan sehingga dapat menentang rezim mendikotomi kelas antara hartawan dan proletar merupakan cikal bakal suatu revolusi sebab kekuatan politik demokrasi berdasar pada titik puncak kemerdekaan manusia, sesungguhnya titik balik revolusi melalui elite politik suatu negara sakit, perlawanan rakyat menentang kebijakan oligark ialah keniscayaan sikap politik responsif. Suatu kedewasaan dalam kesadaran membangun nuansa keadilan dan kesejahatrean, yang bertolak belakang dengan negara 'sakit' terbelakang.

*Di tulis oleh Ahlan Mukhtari Muslim Soamole (Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar/ Pegiat Belajar Filsafat).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun