Mohon tunggu...
Agya Aghniya Mafaza
Agya Aghniya Mafaza Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga NIM: 2410730096

Menulis untuk memahami, mendengar untuk merasakan dan berbagi untuk menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Semangkuk Tenang di Tengah Malam

5 Juni 2025   02:55 Diperbarui: 5 Juni 2025   02:50 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mi Instan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pernah nggak kamu duduk di kasur jam satu pagi, sendirian, ditemani cahaya laptop yang udah mulai redup dan playlist mellow yang pelan-pelan bikin hati makin tenang atau justru makin mellow juga. Lalu tiba-tiba, muncul satu pikiran yang rasanya random tapi familiar banget: “Kayaknya enak deh kalau makan mi sekarang.”

Bukan karena lapar. Tapi ada semacam ruang kosong yang butuh diisi. Bukan di perut, tapi di hati. Dan anehnya, kamu tahu jawabannya: semangkuk mi instan. Kamu pun bangkit pelan-pelan, buka pintu kamar, jalan ke dapur yang dingin dan hening. Ritualnya sudah kamu hapal luar kepala: rebus air, sobek bungkus mi, tuang bumbu ke mangkuk, dan lima menit kemudian… selesai. Mie-nya masih mengepul, harum, dan tiba-tiba dunia nggak terasa segenting tadi.

Di situ, kamu duduk. Sendok pertama masuk ke mulut, kuah hangatnya langsung turun ke perut dan pelan-pelan bikin badan lebih rileks. Rasanya? Familiar. Aman. Seperti pelukan ibu di malam hari.

Mi instan tengah malam bukan cuma tentang makanan cepat saji. Kadang, ia jadi alasan buat berhenti sejenak dari overthinking, dari rasa lelah yang nggak bisa kamu ceritakan ke siapa-siapa. Kadang, ia jadi momen kamu berdamai sama diri sendiri. Satu-satunya yang kamu pilih hari itu. Satu-satunya hal yang terasa pasti.

Dan lucunya, kamu nggak sendiri. Banyak orang juga melakukan hal yang sama. Mi instan jadi semacam bahasa universal: untuk hati yang bingung, untuk kepala yang berat, atau untuk hari-hari yang rasanya kosong. Mie bukan solusi, tapi teman. Teman yang diam, tapi ngerti.

Kalau kamu pernah ngerasain ini, kamu tahu rasanya. Kamu tahu, kadang yang kita cari bukan kenyang tapi tenang.

Simbol Nyaman yang Instan

Ada alasan kenapa mi instan sering disebut sebagai comfort food. Ia bukan makanan mewah, bukan juga yang disiapkan dengan resep rumit atau bahan eksklusif. Tapi justru karena kesederhanaannya, ia terasa dekat. Mi instan adalah makanan yang bisa diandalkan kapan pun kamu butuh sesuatu yang cepat, hangat, dan bisa bikin hati sedikit lebih damai. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, penuh tekanan, dan kadang terasa nggak masuk akal, semangkuk mi bisa jadi satu-satunya hal yang terasa terkendali.

Untuk banyak orang, terutama Gen Z dan milenial, mi instan bukan cuma soal selera. Ia adalah memori. Pengingat akan masa-masa begadang saat ngerjain skripsi, malam-malam panjang nonton anime atau drakor, ataupun momen sendirian di kos tapi tetap merasa ‘oke’ karena ditemani rasa asin dan gurih yang familiar. Nggak ada yang terlalu repot. Hanya air panas, lima menit menunggu, dan kamu sudah punya sesuatu yang terasa “rumah”.

Menurut Susan Albers, psikolog klinis dan penulis Eating Mindfully, makanan yang tinggi karbohidrat dan garam seperti mi instan memang punya efek fisiologis. Kandungan ini mendorong pelepasan serotonin, neurotransmitter yang memicu rasa tenang dan nyaman. Artinya, kita nggak cuma ‘merasa’ enak karena rasa gurihnya, tapi tubuh kita secara biologis memang merespons makanan ini dengan sinyal positif.

Serotonin inilah yang bikin kita bisa menghela napas lega setelah suapan pertama. Kuahnya hangat, lidahmu terbiasa, dan ada rasa familiar yang seperti berkata: “nggak apa-apa, kamu capek.” Mi instan menjadi semacam penanda tidak langsung: bahwa kamu berhak merasa lelah, dan berhak menemukan kenyamanan dengan cara yang sederhana.

Ada yang menyebut ini sebagai bentuk coping. Dan ya, mungkin ada benarnya. Tapi tidak semua coping itu buruk. Kadang, kamu nggak butuh terapi mahal atau liburan jauh untuk merasa sedikit lebih baik. Kadang, kamu hanya butuh alasan kecil untuk berhenti sejenak. Dan mi instan, dalam kepraktisannya, menawarkan momen itu, momen di mana semuanya bisa diperlambat, meski hanya untuk beberapa menit.

Malam Hari: Waktu Paling Jujur

Kenapa mi instan sering muncul dalam skenario tengah malam? Karena malam bukan sekadar bagian dari hari, ia adalah ruang tenang yang membuka pintu ke lapisan terdalam diri kita. Di saat rutinitas berhenti, grup chat mulai sepi, dan notifikasi sudah tak lagi berbunyi, kita mulai lebih peka terhadap apa yang sebenarnya kita rasakan. Lelah, cemas, overthinking, rindu, bahkan sekadar bosan yang tak bisa dijelaskan.

Malam hari adalah waktu paling jujur, saat topeng produktivitas sudah dilepas dan dunia luar tak lagi menuntut respons. Dan di keheningan itulah kita kerap mencari sesuatu yang bisa memeluk kita kembali. Sesuatu yang bisa memberi rasa “diurus” meski tanpa kata. Mi instan hadir dalam bentuk paling sederhana dari perhatian: hangat, familiar, dan bisa diandalkan.

Banyak orang tidak sadar bahwa keputusan merebus mi di jam 1 pagi adalah bentuk perawatan diri yang diam-diam. Sebuah ritual kecil yang bukan hanya soal mengisi perut, tapi soal merawat perasaan. Ketika hidup terlalu cepat, dan emosi tidak sempat diproses di siang hari, maka malam jadi waktu refleksi dan mi instan jadi temannya.

Ada kenyamanan aneh yang lahir dari aktivitas itu. Bunyi air mendidih, aroma bumbu yang menyebar, dan suara sendok menyentuh mangkuk terasa seperti white noise yang menenangkan. Semua itu memberi perasaan bahwa kamu tidak sepenuhnya sendirian. Bahwa meski hari berat, ada sesuatu yang tetap bisa kamu kontrol dan nikmati.

Ini bukan soal pola makan, bukan juga kebiasaan yang harus dijustifikasi. Ini adalah cara bertahan. Dalam dunia yang sering terasa terlalu keras dan cepat, hal-hal kecil seperti semangkuk mi bisa jadi jangkar emosional. Tempat kamu beristirahat sejenak dari ekspektasi, dari tekanan, dari pikiran sendiri.

Mi instan bukan cuma soal rasa gurih yang bikin ketagihan, tapi juga tentang ingatan. Tentang momen-momen kecil yang pernah kita alami di berbagai fase hidup. Mi instan di malam hari sering kali bukan keputusan logis tapi emosional. Karena di balik semangkuk kuah panas itu, ada kenangan yang perlahan naik ke permukaan.

Bagi anak kos, mi instan adalah penyelamat malam-malam panjang. Saat tugas kuliah menumpuk, sinyal Wi-Fi pas-pasan, dan dompet mulai menipis menjelang akhir bulan, mi instan jadi teman paling setia. Di sela-sela begadang nonton anime, atau menyelesaikan skripsi yang nggak kunjung rampung, ritual rebus mi di jam dua pagi jadi semacam bentuk self-reward yang sederhana tapi mengena.

Pekerja kreatif mungkin punya cerita lain. Mi instan datang sebagai pelipur di tengah tumpukan revisi, ide yang belum juga muncul, dan tenggat yang makin dekat. Rasanya bukan sekadar enak, tapi juga cepat dan bisa dinikmati sambil tetap bekerja. Bahkan suara slurp mi jadi latar akrab di banyak studio kecil atau kamar kerja.

Dan jangan lupakan para remaja, yang sering kali makan mi instan dari gelas sambil nonton variety show Korea. Ada sesuatu yang terasa “seru-seruan” dan diam-diam hangat dari momen itu. Duduk diam di kamar, tertawa sendiri, dan merasa “nyambung” dengan dunia yang jauh lewat layar. Entah kenapa, mi instan bikin momen itu terasa lebih utuh.

Dalam film dan drama, mi instan bukan sekadar properti. Ia muncul saat karakter sedang kesepian, butuh penghiburan, atau sedang berpikir keras tentang hidupnya. Momen saat seorang tokoh duduk di depan kompor kecil, rambut acak-acakan, lalu menyeruput mi pelan-pelan sering kali jadi simbol paling manusiawi tentang kelelahan dan harapan.

Bisa dibilang, mi instan tengah malam adalah bahasa universal untuk “aku butuh waktu untuk diriku sendiri”. Dan kita semua, tanpa sadar, pernah berbicara dalam bahasa itu.

Dalam hidup yang serba cepat dan tidak pasti, ada satu hal yang diam-diam kita rindukan: kendali. Bukan kendali besar seperti mengubah jalan hidup atau memastikan semua berjalan sesuai rencana, tapi kendali kecil. Hal-hal sederhana yang kita atur sendiri, tanpa intervensi siapa pun. Seperti memilih rasa mi instan di rak dapur. Menentukan apakah malam ini kita mau tambahkan telur, sosis, atau cukup dengan bubuk cabai bawaan. Memutuskan seberapa banyak kuah yang akan kita sisakan. Apakah dimakan sambil duduk tenang di lantai, atau diseruput sambil scroll TikTok.

Hal-hal kecil ini terlihat remeh, tapi punya makna yang dalam. Mereka adalah bentuk dari ritual coping, sebuah istilah yang merujuk pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang menenangkan karena bisa diprediksi. Dalam artikel The Atlantic tahun 2020, dijelaskan bahwa otak manusia merespons positif terhadap aktivitas yang punya struktur dan hasil akhir yang bisa ditebak. Menyusun sesuatu, meracik, atau bahkan sekadar mengulangi langkah-langkah tertentu, seperti merebus air dan mengaduk bumbu, bisa memberikan rasa tenang yang autentik. Tidak dramatis, tapi cukup untuk mengendapkan pikiran.

Itulah mengapa, meski terlihat impulsif, keinginan masak mi di tengah malam sering bukan karena lapar semata. Itu bentuk perlawanan lembut terhadap hari yang penuh kejutan dan tekanan. Dunia boleh tidak bisa kita atur, tapi mangkuk mi ini bisa. Dan dalam lima menit yang hangat itu, kita merasa sedikit lebih aman. Sedikit lebih stabil.

Mi instan mungkin bukan solusi atas semua masalah, tapi ia hadir sebagai pengingat bahwa kadang, cukup memulai dari yang bisa kita kontrol. Dan itu sudah jadi langkah kecil menuju perasaan yang lebih baik.

Tapi, Jangan Lupa Batasnya

Meski mi instan bisa jadi penyelamat emosional, ada hal penting yang tetap harus kita ingat: tubuh juga punya batas. Di balik kenyamanan kuah gurih dan tekstur kenyalnya, mi instan tetaplah makanan tinggi natrium dan minim nutrisi. Mengonsumsinya terlalu sering, apalagi di malam hari, bisa mengganggu lambung, kualitas tidur, bahkan suasana hati esok harinya. Jadi, menjadikan mi instan sebagai comfort food? Boleh. Tapi biarkan ia tetap jadi “teman sesekali”, bukan sandaran setiap malam.

Karena sebenarnya, saat kita diam-diam ke dapur tengah malam dan membuka bungkus mi, itu bukan soal rasa lapar di perut, tapi rasa kosong di hati yang ingin diisi. Kita mencari kehangatan, kepastian kecil, dan ruang di mana kita bisa merasa nyaman tanpa banyak penjelasan. Dan itu sangat manusiawi.

Malam memang sering kali jadi ruang jujur. Saat topeng sudah dilepas, kesibukan mereda, dan yang tersisa hanya kita dan pikiran kita sendiri. Di tengah keheningan itu, semangkuk mi hangat bisa terasa seperti pelukan kecil, tidak menyelesaikan semua, tapi cukup untuk membuat kita bertahan satu malam lagi.

Karena ternyata, kenyamanan tidak selalu harus mewah atau rumit. Kadang, cukup air panas, rasa pedas favoritmu, dan waktu lima menit untuk berhenti sejenak dari dunia yang terus bergerak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun