Serotonin inilah yang bikin kita bisa menghela napas lega setelah suapan pertama. Kuahnya hangat, lidahmu terbiasa, dan ada rasa familiar yang seperti berkata: “nggak apa-apa, kamu capek.” Mi instan menjadi semacam penanda tidak langsung: bahwa kamu berhak merasa lelah, dan berhak menemukan kenyamanan dengan cara yang sederhana.
Ada yang menyebut ini sebagai bentuk coping. Dan ya, mungkin ada benarnya. Tapi tidak semua coping itu buruk. Kadang, kamu nggak butuh terapi mahal atau liburan jauh untuk merasa sedikit lebih baik. Kadang, kamu hanya butuh alasan kecil untuk berhenti sejenak. Dan mi instan, dalam kepraktisannya, menawarkan momen itu, momen di mana semuanya bisa diperlambat, meski hanya untuk beberapa menit.
Malam Hari: Waktu Paling Jujur
Kenapa mi instan sering muncul dalam skenario tengah malam? Karena malam bukan sekadar bagian dari hari, ia adalah ruang tenang yang membuka pintu ke lapisan terdalam diri kita. Di saat rutinitas berhenti, grup chat mulai sepi, dan notifikasi sudah tak lagi berbunyi, kita mulai lebih peka terhadap apa yang sebenarnya kita rasakan. Lelah, cemas, overthinking, rindu, bahkan sekadar bosan yang tak bisa dijelaskan.
Malam hari adalah waktu paling jujur, saat topeng produktivitas sudah dilepas dan dunia luar tak lagi menuntut respons. Dan di keheningan itulah kita kerap mencari sesuatu yang bisa memeluk kita kembali. Sesuatu yang bisa memberi rasa “diurus” meski tanpa kata. Mi instan hadir dalam bentuk paling sederhana dari perhatian: hangat, familiar, dan bisa diandalkan.
Banyak orang tidak sadar bahwa keputusan merebus mi di jam 1 pagi adalah bentuk perawatan diri yang diam-diam. Sebuah ritual kecil yang bukan hanya soal mengisi perut, tapi soal merawat perasaan. Ketika hidup terlalu cepat, dan emosi tidak sempat diproses di siang hari, maka malam jadi waktu refleksi dan mi instan jadi temannya.
Ada kenyamanan aneh yang lahir dari aktivitas itu. Bunyi air mendidih, aroma bumbu yang menyebar, dan suara sendok menyentuh mangkuk terasa seperti white noise yang menenangkan. Semua itu memberi perasaan bahwa kamu tidak sepenuhnya sendirian. Bahwa meski hari berat, ada sesuatu yang tetap bisa kamu kontrol dan nikmati.
Ini bukan soal pola makan, bukan juga kebiasaan yang harus dijustifikasi. Ini adalah cara bertahan. Dalam dunia yang sering terasa terlalu keras dan cepat, hal-hal kecil seperti semangkuk mi bisa jadi jangkar emosional. Tempat kamu beristirahat sejenak dari ekspektasi, dari tekanan, dari pikiran sendiri.
Mi instan bukan cuma soal rasa gurih yang bikin ketagihan, tapi juga tentang ingatan. Tentang momen-momen kecil yang pernah kita alami di berbagai fase hidup. Mi instan di malam hari sering kali bukan keputusan logis tapi emosional. Karena di balik semangkuk kuah panas itu, ada kenangan yang perlahan naik ke permukaan.
Bagi anak kos, mi instan adalah penyelamat malam-malam panjang. Saat tugas kuliah menumpuk, sinyal Wi-Fi pas-pasan, dan dompet mulai menipis menjelang akhir bulan, mi instan jadi teman paling setia. Di sela-sela begadang nonton anime, atau menyelesaikan skripsi yang nggak kunjung rampung, ritual rebus mi di jam dua pagi jadi semacam bentuk self-reward yang sederhana tapi mengena.
Pekerja kreatif mungkin punya cerita lain. Mi instan datang sebagai pelipur di tengah tumpukan revisi, ide yang belum juga muncul, dan tenggat yang makin dekat. Rasanya bukan sekadar enak, tapi juga cepat dan bisa dinikmati sambil tetap bekerja. Bahkan suara slurp mi jadi latar akrab di banyak studio kecil atau kamar kerja.