Mohon tunggu...
Agya Aghniya Mafaza
Agya Aghniya Mafaza Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga NIM: 2410730096

Menulis untuk memahami, mendengar untuk merasakan dan berbagi untuk menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Semangkuk Tenang di Tengah Malam

5 Juni 2025   02:55 Diperbarui: 5 Juni 2025   02:50 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mi Instan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dan jangan lupakan para remaja, yang sering kali makan mi instan dari gelas sambil nonton variety show Korea. Ada sesuatu yang terasa “seru-seruan” dan diam-diam hangat dari momen itu. Duduk diam di kamar, tertawa sendiri, dan merasa “nyambung” dengan dunia yang jauh lewat layar. Entah kenapa, mi instan bikin momen itu terasa lebih utuh.

Dalam film dan drama, mi instan bukan sekadar properti. Ia muncul saat karakter sedang kesepian, butuh penghiburan, atau sedang berpikir keras tentang hidupnya. Momen saat seorang tokoh duduk di depan kompor kecil, rambut acak-acakan, lalu menyeruput mi pelan-pelan sering kali jadi simbol paling manusiawi tentang kelelahan dan harapan.

Bisa dibilang, mi instan tengah malam adalah bahasa universal untuk “aku butuh waktu untuk diriku sendiri”. Dan kita semua, tanpa sadar, pernah berbicara dalam bahasa itu.

Dalam hidup yang serba cepat dan tidak pasti, ada satu hal yang diam-diam kita rindukan: kendali. Bukan kendali besar seperti mengubah jalan hidup atau memastikan semua berjalan sesuai rencana, tapi kendali kecil. Hal-hal sederhana yang kita atur sendiri, tanpa intervensi siapa pun. Seperti memilih rasa mi instan di rak dapur. Menentukan apakah malam ini kita mau tambahkan telur, sosis, atau cukup dengan bubuk cabai bawaan. Memutuskan seberapa banyak kuah yang akan kita sisakan. Apakah dimakan sambil duduk tenang di lantai, atau diseruput sambil scroll TikTok.

Hal-hal kecil ini terlihat remeh, tapi punya makna yang dalam. Mereka adalah bentuk dari ritual coping, sebuah istilah yang merujuk pada kebiasaan-kebiasaan kecil yang menenangkan karena bisa diprediksi. Dalam artikel The Atlantic tahun 2020, dijelaskan bahwa otak manusia merespons positif terhadap aktivitas yang punya struktur dan hasil akhir yang bisa ditebak. Menyusun sesuatu, meracik, atau bahkan sekadar mengulangi langkah-langkah tertentu, seperti merebus air dan mengaduk bumbu, bisa memberikan rasa tenang yang autentik. Tidak dramatis, tapi cukup untuk mengendapkan pikiran.

Itulah mengapa, meski terlihat impulsif, keinginan masak mi di tengah malam sering bukan karena lapar semata. Itu bentuk perlawanan lembut terhadap hari yang penuh kejutan dan tekanan. Dunia boleh tidak bisa kita atur, tapi mangkuk mi ini bisa. Dan dalam lima menit yang hangat itu, kita merasa sedikit lebih aman. Sedikit lebih stabil.

Mi instan mungkin bukan solusi atas semua masalah, tapi ia hadir sebagai pengingat bahwa kadang, cukup memulai dari yang bisa kita kontrol. Dan itu sudah jadi langkah kecil menuju perasaan yang lebih baik.

Tapi, Jangan Lupa Batasnya

Meski mi instan bisa jadi penyelamat emosional, ada hal penting yang tetap harus kita ingat: tubuh juga punya batas. Di balik kenyamanan kuah gurih dan tekstur kenyalnya, mi instan tetaplah makanan tinggi natrium dan minim nutrisi. Mengonsumsinya terlalu sering, apalagi di malam hari, bisa mengganggu lambung, kualitas tidur, bahkan suasana hati esok harinya. Jadi, menjadikan mi instan sebagai comfort food? Boleh. Tapi biarkan ia tetap jadi “teman sesekali”, bukan sandaran setiap malam.

Karena sebenarnya, saat kita diam-diam ke dapur tengah malam dan membuka bungkus mi, itu bukan soal rasa lapar di perut, tapi rasa kosong di hati yang ingin diisi. Kita mencari kehangatan, kepastian kecil, dan ruang di mana kita bisa merasa nyaman tanpa banyak penjelasan. Dan itu sangat manusiawi.

Malam memang sering kali jadi ruang jujur. Saat topeng sudah dilepas, kesibukan mereda, dan yang tersisa hanya kita dan pikiran kita sendiri. Di tengah keheningan itu, semangkuk mi hangat bisa terasa seperti pelukan kecil, tidak menyelesaikan semua, tapi cukup untuk membuat kita bertahan satu malam lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun