Mohon tunggu...
Mohamad Agus Yaman
Mohamad Agus Yaman Mohon Tunggu... Freelancer - Seniman

kreator Prov. Kep. Bangka Belitung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cintailah "Pulau Kecilku" Bangka Belitung

7 Oktober 2020   10:14 Diperbarui: 7 Oktober 2020   10:31 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tradisi makan bersama di acara sekolah SD di desa Mendo Barat | dokpri

Terbentuknya seni tradisional dapat disimpulkan sebagai hasil dari gambaran manusia/masyarakat setempat terhadap alam sekitarnya dan terhadap masyarakat setempat. Makna dan pesannya adalah menggambarkan sosial masyarakatnya dan kehidupan mahluk hidup di lingkungannya, kemudian makna pesannya tersebut terus disempurnakan mengikuti perkembangan generasinya hingga diajarkan secara turun menurun hingga saat ini.

Biasanya fenomena kisah-kisah seni budaya tradisional yang terjadi pada masyarakat Bangka adalah orang yang tertua/sesepuh di desa di percaya mengetahui segala tentang seni budaya daerah tersebut, dan ada yang di anggap sebagai ahli waris kisah-kisah terdahulu, kemudian cerita itu terus diwariskan secara turun temurun. Cerita yang turun menurun ini sudah pasti ada bagian-bagian kecil yang berkurang, ini wajar karena cerita yang disampaikan dari lidah ke lidah akan berbeda dari perjalanannya dari masa lampau, tapi cerita ini akan baku (tidak dapat dirubah) jika sudah dituliskan/dibukukan.

Gasing, olahraga tradisional Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini | dokpri
Gasing, olahraga tradisional Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini | dokpri

Setiap seni budaya di Bangka Belitung ini khususnya di bidang seni tari, musik dan upacara adat memiliki warna atau kebiasaan yang ditentukan dengan sedikit -- banyak jumlah penduduknya, contohnya; upacara adat dihadiri 10 orang, yang memang dilingkungan itu didiami oleh 10 kepala rumah tangga, maka ia akan menjadi tradisi daerah itu, dan didesa-desa kecil/sedikit penduduknya hanya memiliki kebiasaan seperti berdambus, nganggung (membawa makanan dengan wadah ke masjid-masjid) dengan sedikit masyarakat dan para tamu pun akan enggan untuk mendatangi desa itu, sedangkan desa besar akan mengadakan upacara adat dan perayaan lainnya yang lebih meriah karena banyaknya orang yang datang. Selain itu jarak desa ke kota menjadi bahan pertimbangan orang kota untuk datang.

Uniknya saat suatu desa mengadakan satu perayaan/upacara adat besar-besaran yang ditadangkan para tamu dari segala daerah Bangka, maka terdengarlah beragam bahasa/logat yang dibawa oleh masing-masing orang. Logat dan bahasanya yang berirama jelas berbeda, dan sebagian besar orang-orang tua Bangka memahami logat/irama bahasa mereka, dapat diketahui mereka dari Bangka bagian selatan, utara, barat, atau pun Bangka tengah.

persiapan makan bersama (nganggung) yang diadakan pemkab Bangka di gedung pertemuan sepintu sedulang | dokpri
persiapan makan bersama (nganggung) yang diadakan pemkab Bangka di gedung pertemuan sepintu sedulang | dokpri


tradisi makan bersama di acara sekolah SD di desa Mendo Barat | dokpri
tradisi makan bersama di acara sekolah SD di desa Mendo Barat | dokpri

Logat/irama bahasa yang berbeda walau satu pulau ini muncul seiring waktu. Dalam buku PULAU BANGKA DAN BUDAYANYA jilid III (Harifin Machmud, 1986) yang saya baca, bahasa di pulau Bangka ini hadir seiring kerajaan masa lampau yang telah menguasai daerah mereka, seperti daerah Mentok/Bangka barat logat/irama bahasanya mirip melayu malaysia, karena pada masa itu kerajaan malaka pernah singgah/melintas di Mentok dengan tujuan ke Palembang, karena mentok merupakan pelabuhan penghubung antara Bangka dan Palembang. 

Demikian juga daerah Belinyu, daerah ini mirip bahasa Palembang, karena dulu pada masa kesultanan Palembang pernah singgah ke Belinyu dan pernah mengobati orang suku Lom di Belinyu. Upacara adat di Belinyu pun berbeda di banding upacara adat daerah lain, mereka memiliki suku pedalaman yang dipercaya suku terlama berdiam di Bangka yaitu suku Lom (suku yang belum (lom), beragama, belum beradat).

Upacara adat di Bangka lambat laun mengalami perubahan walau hanya bentuk dari tempat makanan yang disediakan atau pun tenda-tenda tamu pemerintahannya, demikian juga tari tradisional yang telah mengalami perubahan walau berupa pernak-pernik baju, musik berupa sound system atau alat petik yang telah menggunakan efek ataupun gambus yang berubah menjadi elektrik dan sebagainya.

Dalam perjalanan waktu terjadi juga percampuran seni budaya, dan dari percampuran itu muncul seni budaya baru, kemudian diajarkan kepada anak didiknya. Ini sudah terjadi di daerah Mendo Barat, dalam penglihatan saya, dimana seorang guru seni berasal dari daerah Jawa dan mengajarkan tarian Jawa yang kemudian membuat tarian/gerakan/busana percampuran Jawa dan Bangka, itu sangat terlihat jelas, yang kemudian tariannya ia ikutsertakan di FLS2N tingkat SMA. Kebetulan saat itu saya menjadi juri seni tari, dan tidak ada permasalahan disini, saya anggap ini merupakan pembelajaran bagi anak-anak sekolah, demi kemajuan negara Indonesia. Disini saya hanya ingin menceritakan percampuran seni budaya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun