Mohon tunggu...
Agus Wasonoputra
Agus Wasonoputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan ikhlas, dengan aroma pup yang diberikan si pemilik rumah kepada kloset, yang tak akan mampu ia ingat-ingat lagi.\r\n\r\nasal kau lega, aku hepi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pahlawan dari Selatan

8 November 2011   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

buat sahabatku H

I

Sore hari menjelang lelehnya senjakala di tepian lazuardi merah, dua utusan itu datang menghadap. Semua kegiatan istana yang seharusnya telah terhenti semenjak pukul lima, dipaksa untuk masih berjalan oleh dua pria pedalaman itu. Dari rautwajah mereka, suatu tujuan terpancar remang dibalut cahaya sore, mengendap sebagai sebuah harapan yang samar.

Perawakan kedua orang tersebut bisa dikatakan hampir sama dan serupa, tidak tinggi bukan pula pendek. Hanya perbedaan umur yang tak mampu tertutupi oleh paras dan keras-lembutnya warna suara mereka. Jelas sekali yang satu masih berumur pertengahan tigapuluhan, sedangkan yang lainnya mendekati paruhbaya. Sorotmata mereka berdua yang tajam bersinar, meski sekedar stereotype, mampu membuat orang berkesimpulan bahwa mereka datang dari selatan.

Presiden baru saja menuntaskan salat magribnya ketika ia terpaksa menunda santiajinya bersama keluarga. Ia tidak terlihat marah atau merasa terganggu dengan kedatangan dua tamu itu. Pun ia tak akan marah meskipun mereka datang dan membangunkannya di pagi buta. Setiap orang beranggapan bahwa ia adalah orang yang paling sabar sedunia.

Begitu Presiden memasuki ruangtamunya, berubahlah rautwajah kedua orang selatan itu—bukan sinar kebahagiaan yang terpancar, melainkan sebatas kelegaan yang disertai rasa gemas akan penantian yang sekian lama baru tertebuskan.

Setelah beberapa menit basabasi dari sang tuanrumah, tibalah giliran para tamu untuk mengutarakan maksud kedatangan mereka. Maka angkat bicaralah pria yang berusia tigapuluhan, sebab memang ia lebih fasih dalam bertutur lisan daripada pria yang paruhbaya. Ia selalu mengawali pembicaraannya dengan berbagai macam diksi untuk merendahkan diri sendiri.

Dalam perkenalan yang cukup singkat itu, teranglah bahwa si muda itu bernama Pernojo, sementara yang tua tak lain adalah pamannya sendiri yang bernama Kromowito. Entah karena suatu hal, kedua orang itu terlihat kesulitan untuk mengutarakan apa yang harus mereka adukan kepada pemimpin mereka yang baru itu. Demikian pula ketika tiba giliran Kromowito untuk bertutur ujaran, dari kata-katanya terselip sesobek rasa sungkan yang tertahan.

“Saya rasa Bapak Presiden telah mengetahui, atau setidaknya telah menerka maksud dari kedatangan kami menghadap Bapak. Kami adalah orang selatan, dan tentu saja orang sebijak Bapak telah mengetahui macam apa orang seperti kami ini.”

Presiden tersenyum mengangguk. Gerakgerik ini kuranglebih berarti: silakan meneruskan. Percakapan lewat gerak-gerik isyarat tubuh ini adalah khas orang selatan. Pernojo dapat dengan jelas membaca hal ini. Ia sentuhkan tangannya pada lutut Kromowito, pertanda bahwa ia mohon izin untuk berbicara. Kromowito mengiyakan dengan menyentuh tangan Pernojo.

Sejurus kemudian, bertuturlah Pernojo tentang kampung halamannya yang jauh di selatan, terjepit oleh kota besar Gringsing dan Tirtoseto di sebelah timur dan barat. Kampung halamannya itu, secara langsam dan berangsur kini mulai terhimpit di sela dua kerumunan besar pusat kebudayaan manusia, tanpa ada satu pun sisi kemanusiaan yang tersisa untuk sarang keterasingan itu.

Kisah yang dituturkan oleh Pernojo perlahan mulai menjatuhkan angan pemimpin negeri itu akan bayangan masa kecilnya, yang sebisa mungkin akan ia tutupi dari pengetahuan orang banyak. Ia tercenung, matanya mulai mengabur berbingkai airmata yang setengah ragu untuk terbit. Dalam batinnya ia merasa, ia harus mencari kisah-kisah yang lebih indah untuk ia karang, untuk diumumkan kepada khalayak sebagai kisah masa kecilnya yang resmi. Ia tahu, jarang sekali seorang pemimpin di negeri ini yang mempunyai masa kecil begitu cerah di dalam kenangannya.

II

Enampuluh dua tahun lalu, lahirlah Toto kecil di sebuah desa bernama Wanusebo, lima jam perjalanan ke arah selatan dari ibukota. Ia diberi nama Adiroto, dan di masa kecilnya ia selalu merasa bangga dengan nama itu, meskipun ia tak pernah ambil peduli apapun artinya.

Kedua orangtua Toto adalah penjahit. Kakek dan kakek buyut dari garis bapaknya pun menamatkan hidup mereka sebagai penjahit. Riwayat pekerjaan keluarganya itu turut terwariskan melalui sebuah mesinjahit Singer tua buatan 1938 milik kakek buyutnya. Toto sendiri tak pernah merasa bangga akan pekerjaan yang tak pernah memberikan kemakmuran bagi keluarganya itu. Pernah suatu kali ia berujar kepada kawan-kawannya, suatu saat nanti ia akan memutus matarantai pengikat garis keturunan itu. Entah dengan cara apa.

Sebenarnya, Toto tidak terlahir sebagai seorang anak yang ramai dan banyak bicara. Semua itu mulai berubah ketika ia menginjak bangku SMP. Pada waktu itu, keluarganya terlilit hutang yang sangat berat tanpa mampu mereka tebus, hingga pada akhirnya mereka harus merelakan mesin jahit mereka sebagai satu-satunya harta yang tersisa, untuk dijaminkan kepada jurutaksir pegadaian. Maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, suatu saat nanti ia akan mendapatkan benda tua itu kembali, bagaimanapun cara yang harus ia tempuh. Aku harus mengubah takdirku, desisnya.

Sejak saat itu, ia memutuskan bekerja paruhwaktu untuk membantu menegakkan rumah keluarganya kembali. Pada awalnya, ia mencoba berjualan apa saja, mulai dari makanan kecil hingga pernak-pernik kelengkapan dapur. Pada saatnya kemudian, ia temukan jenis pekerjaan yang ia rasa paling tepat untuknya—tukang semir sepatu.

Entah atas ilham macam apa, pada akhirnya ia mampu menjadi tukang semir paling makmur di antara kawan-kawannya. Kabar angin menyebutkan sebuah rahasia kecil: ia menyemir sambil menipu pelanggannya. Melalui kelengahan para pelanggannya, ia begitu lihai mempermainkan angka uang kembalian menyemir. Bukan secara kebetulan pula jika ia pandai memilih pelanggan yang mudah latah, mudah untuk dikelabui. Maka kemudian, ia perlahan menyadari bahwa ia berangsur telah mengembangkan kecakapannya dalam berurai kata-kata.

Orang-orang tahu bahwa penyemir Toto selalu menabungkan penghasilannya. Namun pada suatu kesempatan, ketika tabungannya telah melebihi cukup untuk menebus mesin jahit tuanya itu, ia justru merencanakan hal lain. Ia himpun kawan-kawannya seprofesi untuk menjarah kantor pegadaian di malam hari. Penjarahan itu berhasil, namun ia hanya mengambil mesin jahit tuanya itu. Ia persilakan kawan-kawannya untuk membawa barang-barang yang nilai gadainya jauh lebih berharga dibandingkan mesin jahit itu, tanpa berniat macam-macam.

Kelakuannya itu masih saja memunculkan pertanyaan di benak kawan-kawannya, dan kadang membuat mereka menyangsikan kewarasan penyemir cerdik itu. Di balik semua itu, dalam anggapannya ia telah melakukan sebuah pencurian yang jujur, demi menebus kesehariannya sebagai penipu berseragam tukang semir. Ia selalu menganggap bahwa dirinya adalah pencinta keadilan, di mana penipuan yang selama ini ia lakukan akan mampu diadilkan dengan sebuah pencurian yang jujur.

III

Pembicaraan di ruangtamu istana sempat diselimuti keheningan selama beberapa saat. Masing-masing asyik-masyuk tenggelam dalam kenangan masa kecil di tempat kelahirannya, baik pahit maupun manis yang terasa. Ketika lamunan itu terasa terlalu lama mengendap, maka tersadarlah Kromowito. Ia berikan isyarat kepada keponakannya untuk berbicara. Melihat hal itu, sang tuanrumah mencoba mencairkan suasana dengan mempersilakan minuman kepada para tamunya. Kromowito dan Pernojo menyambut gelas minuman mereka dengan rikuh.

Merasa otaknya cair oleh teh hangat dari sang Presiden, Pernojo kembali menemukan gairahnya untuk berbicara.

“Keluarga kami telah banyak berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Semenjak pabrik-pabrik didirikan, gedung-gedung ditinggikan dan diperluas, kami mulai tergiur untuk melepas tanah kami kepada mereka. Harga yang kami lihat di atas kertas pun tidak pernah menjadi kenyataan. Separuh, Pak—kami hanya menerima separuh harga dari penjualan itu. Kami mulai kehilangan cara hidup kami yang nyaman. Semua ini kami dapat atas kebodohan kami sendiri.”

Maka kisah ini kembali menggiring lamunan Presiden menuju masa lalunya yang tak sebegitu jauh. Ingin sekali ia menghibur Pernojo, namun pada kenyataannya tak boleh ia mengatakan kejujuran tentang masa lalunya. Dalam batinnya ia berbisik:

“Aku pun pernah sepertimu, Nak. Bahkan lebih dari itu, aku menjadi pejuang yang dikejar-kejar, sekaligus satu orang dengan berbagai jatidiri. Tak pernah ada yang tahu siapa aku ini sebenarnya.”

Presiden kini menyilangkan jari-jarinya dengan santai di atas pangkuannya. Orang selatan akan tahu bahwa ini saatnya untuk beristirahat sejenak dari percakapan. Tiba-tiba, tanpa mampu mengendalikan dirinya, Kromowito mengomentari gerak-gerik orang selatan yang selalu diperlihatkan oleh Presiden. Lalu menjawablah sang Presiden dengan penuh wibawa:

“Aku tak peduli aku ini orang selatan atau tidak. Selama aku masih menjadi pemimpin negerimu, tentu saja aku harus mengetahui adat daerahmu itu.”

IV

Menjelang tahun ketiga Toto di bangku SMA, meletuslah pergolakan politik yang dipimpin oleh para jenderal, selanjutnya disebut sebagai Revolusi Pertama. Keadaan politik yang mengalami chaos, kemudian berdampak pada kestabilan sosial-masyarakat di seluruh wilayah. Keluarga Toto pun turut terseret dalam arus kekacauan. Praktik lintahdarat yang sebelumnya secara tidak langsung diawasi oleh Presiden, kini dapat secara bebas mengembangkan sayapnya. Termasuk dengan cara apapun, dan termasuk pula dengan memanfaatkan kekuatan hukum alam—dasar hukumnya para preman.

Dalam masa Revolusi Pertama itulah, Toto merasakan malam-malam di rumahnya yang selalu diwarnai dentuman daun pintu, beradu keras dengan sol keras sepatu lars para penagih hutang. Suara bentakan riuh rendah dan kadang termakan suara pecahan kaca yang dipecahkan gerombolan tanpa nama.

Pada tahun kedua dari Revolusi Pertama itu, keluarganya melarikan diri ke kota Gringsing, di mana ibunya yang belum sempat ia cintai tewas dalam sebuah kerusuhan di jalan raya. Ia sendiri tak pernah sempat menyaksikan jasad ibunya dimakamkan. Semenjak itulah ia mulai mencintai ibunya. Ia mulai nyaman mengisahkan kebaikan-kebaikan ibunya kepada setiap orang yang ia temui.

Di kota Gringsing pulalah selanjutnya ia mencari pengetahuan di perguruan tinggi. Di sana ia mulai mengenal pergerakan keagamaan, dan di situ pula ia belajar akan hukum benar dan salah. Maka ketika kegiatannya tersebut bercumbu dengan kecintaan lamanya akan keadilan, semakin banyak orang yang mengawasi pergerakannya, termasuk kepolisian baru yang muncul setelah Revolusi Pertama meletus. Ia justru semakin menantang terhadap semua yang melintang di jalannya.

Semua keyakinannya pun kembali berubah ketika polisi mengepung rumahnya. Ia telah melarikan diri, namun tanpa sengaja ia telah meninggalkan bapaknya sendirian, menjadi sasaran tembakan yang empuk bagi polisi. Ia mati dalam tiga hari, di mana golongan darahnya yang langka tak mampu mendapatkan donor yang serupa.

Kehidupannya setelah itu banyak ia habiskan di jalanan. Sekali waktu ia muncul dengan nama Adiroto, sang penceramah saleh dari Gringsing. Pada lain waktu di kota Tirtoseto, ia dikenal sebagai Otorida si seniman gila yang kehilangan Tuhan, sekaligus menjadi pusat kecaman pergerakan yang dahulu pernah ia perjuangkan. Kadang bukan pula dua-duanya; ia pernah menjadi pengacara muda yang mengaku tiga kali menduda, seorang fotografer kuliner yang selalu berdandan klimis, pernah pula ia menjadi penari latar seorang penyanyi pop tenar. Semua itu dengan nama-nama yang berbeda, dan dengan penampilan yang berbeda pula, hingga tak akan ada satu orang pun yang mengira bahwa mereka semua adalah satu sosok yang sama.

Pernah suatu ketika, sebagai Otorida si seniman gila, ia membawa lari sebuah lukisan antik milik seorang anak pengusaha kontrakan di kota Gringsing. Konon lukisan itu membawa tuah, sehingga bagi siapapun pemiliknya akan mendapatkan kekayaan yang tak habis-habis. Seniman gila itu tak pernah lagi mempercayai mitos semacam itu, terlebih karena kepercayaan semacam itu tak akan pernah mampu mengembalikan bapak-ibunya yang telah membusuk di relung-relung tanah.

Maka tak lama kemudian, keluarga pengusaha kontrakan itu jatuh miskin. Si anak pengusaha yang gelap mata itu pun bersumpah, ia tak akan pernah mati sebelum ia menemukan Otorida, seniman penipu yang telah membawa lari semua kemakmuran yang pernah dimiliki keluarganya. Otorida sendiri tak pernah diketahui ke mana rimbanya, serta dijual ke mana lukisan sakti itu.

V

Selang sepuluh tahun setelah Revolusi Pertama terjadi, meletuslah Revolusi Kedua. Berbeda dengan yang sebelumnya, Revolusi Kedua tidak dipimpin oleh kaum militer, melainkan oleh rakyat jelata yang memunculkan nama seorang orator kharismatik, Bung Diro. Ia sendiri tak lain adalah Otorida, yang telah mencukur rapi rambut panjang kusutnya, serta membentuk kumisnya sedemikian rupa sehingga terlihat tipis dan berkelas. Penampilannya yang kini terlihat flamboyan, sorot mata tajam serta bahasa tubuhnya yang santun khas orang selatan, berhasil memaksa rakyat untuk memarakkannya sebagai presiden baru negeri ini.

Maka bertiuplah angin senja, membawa biduk-biduk para nelayan di pinggiran ibukota untuk mengais sisa-sisa keberuntungan yang melayang di perairan laut yang semakin menghitam oleh cacimaki sepah revolusi. Selarik warna merah menyala yang tergurat di cakrawala perlahan memudar, menyisakan warna ochre yang bersaput asap-asap kendaraan yang terbakar. Di tengah-tengah kekacauan dan temaram bara revolusi, berdirilah istana kepresidenan, di mana sang pemimpin baru tengah menerima dua orang tamu pertamanya setelah ia dilantik.

Tamu-tamu dari selatan itu kini kebingungan, saling melempar hak untuk berbicara karena tak ada satupun dari mereka yang merasa mampu untuk mengutarakan keluhkesahnya kepada Presiden. Adiroto, yang kini dikenal sebagai Bung Diro alias Presiden Sudiro, mencoba mencari titik terang dari apa yang tengah diperselisihkan oleh kedua tamunya.

“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Tuan-Tuan?” tegas Presiden Sudiro.

Pernojo segera membetulkan letak duduknya, kemudian mencoba mengeluarkan apa yang tengah ada di dalam hatinya.

“Bapak Presiden yang terhormat, paman saya Kromowito ingin sekedar meminta tolong kepada Bapak untuk membantu kami menangkap seorang penjahat.”

“Penjahat seperti apa? Dalam masa-masa peralihan seperti ini, tentu banyak penjahat berkeliaran di mana-mana.”

“Seorang penipu.”

“Penipu?”

“Ya, ia telah membawa harta pusaka milik paman saya. Beliau sangat percaya akan tuah pusaka itu, sehingga semenjak pusaka itu dibawa lari, beliau mulai terus-menerus melakukan kesalahan dalam penjualan tanah. Hingga tanah yang terakhir beliau miliki terjual secara sia-sia, pada akhirnya beliau tinggal bersama saya di sebuah rumahpetak yang pernah beliau miliki sendiri. Semua karena hilangnya pusaka itu—sebuah lukisan antik dari kakekbuyut keluarga besar kami.”

Sang Presiden menarik napas panjang, kemudian dengan nada suara yang kini terdengar kebapak-bapakan, berkata ia: apa yang memang pantas menjadi milik kalian, akan segera saya usahakan. Ia kemudian berdiri dengan tatapan mata haru. Ia rangkul pundak kedua tamunya seperti umumnya cara orang-orang selatan menunjukan rasa iba. Tak lama kemudian, ia panggil ajudannya untuk memberikan segala sesuatu yang paling baik untuk kedua tamu malangdi hadapannya.

Pada keesokan harinya, tak ada seorang pun yang pernah menyaksikan kedua tamu itu keluar dari istana kepresidenan. Demikian pula pada hari lusa, demikian pula pada minggu-minggu sesudahnya. Keberadaan mereka tak pernah lagi terlihat di mana pun dalam jangkauan wilayah negeri revolusi—negeri para pahlawan ini.

Wonosobo, November 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun