Jakarta, Kamis malam (6/6/2025). Langit mendung. Semangat menggelegak. Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) penuh sesak. Bukan sekadar pertandingan. Ini adalah lautan harapan. Emosi tumpah. Jutaan suara menyatu dalam satu gemuruh.
Di tengah teriakan yang menggema. Lampu stadion menari di atas rumput hijau. Laga panas. Jantung bangsa berdetak cepat. Dan satu nama mencuat di tengah sorotan: Ole Romeny.
Bola bersarang di gawang China. Skor berubah. Stadion meledak. Itu gol ketiga Romeny untuk Indonesia. Gol yang membakar euforia.
Tapi bukan gol itu yang paling diingat. Melainkan selebrasinya. Beberapa detik setelahnya. Penuh makna. Menggetarkan.
Dengan gerakan tenang tapi penuh makna, Romeny mengangkat tangan kanan, meletakkannya di bawah dagu, dan menegakkan kepala. Pandangannya lurus ke depan. Penuh ketegasan namun tak berlebihan.
Bagi sebagian penonton, gestur itu tampak sederhana. Nyaris seperti kebiasaan kecil yang spontan. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu.
Karena ternyata, itu bukan pertama kalinya ia melakukannya. Sebelumnya, saat menghadapi Australia dan Bahrain, Romeny juga melakukan selebrasi yang sama. Ada pola, ada konsistensi, ada pesan.
Kali pertama dia melakukan selebrasi itu, saat mencetak gol ke gawang Australia, ada rasa penasaran publik. Apakah ini hanya gaya baru, bentuk kepercayaan diri, atau sekadar tren sesaat?
Jawaban sang pemain datang dengan tenang. Tanpa banyak retorika. "Tegakkan kepala," ujarnya singkat.
Kata-kata itu tidak hanya menjawab rasa ingin tahu. Ia membangkitkan perenungan. Di balik selebrasi itu, tersembunyi sebuah filosofi. Â